Pada 2013 Mika Ganobal ditunjuk oleh teman-temannya sebagai koordinator untuk menggalang aksi “SaveAru” atau penyelamatan Kepulauan Aru. Aksi ini dilakukan karena sebuah korporasi tengah berencana mendirikan perkebunan tebu yang akan menghabisi sebagian besar hutan di sana.
Statusnya sebagai PNS membuatnya Mika rawan tekanan. Ia kerap diintimidasi, diteror, dan diancam pemecatan sebagai PNS, karena dianggap berseberangan dengan banyak koleganya. Apalagi bupati yang berkuasa saat itu pendukung utama proyek perkebunan tebu tersebut. Ia tak mundur karena yakin dia tidak sedang melawan pemerintah. “Pemerintah berpikir kita ini melawan Negara, tapi sebenarnya bagi saya itu melawan kebijakan Negara yang tidak sesuai,” ujar pemuda lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (ISIP) Universitas Pattimura Ambon ini.
Warga mencium proyek investasi perkebunan tebu itu hanya akal-akalan korporasi untuk menguasai kayu-kayu hutan Aru. Selain itu berdasar regulasi yang ada, izin pelepasan hutan yang diberikan, terhitung tiga kali lipat dari yang sepatutnya dapat dikelola sebuah perusahaan. Korporasi mengklaim telah memiliki izin pelepasan kawasan hutan seluas 500 ribu hektar. Padahal, wilayah Aru hanya 629 ribu hektar. Itu artinya semua hutan Aru akan musnah. Yang tersisa hanyalah kampung dan kota.
Padahal hutan Aru adalah tempat penghidupan warga Aru. Hutan juga tempat bermukimnya ratusan flora dan satwa endemik, seperti Kanguru, burung Cendarawasih, burung kakatua hijau, merah dan hitam dan burung kasuari.
Tanpa dukungan dana, Mika dan teman-temannya harus berkeliling ke 117 desa, yang lokasinya berpulau–pulau. Hanya dua desa yang bisa dijangkau dengan transportasi darat, lainnya harus menggunakan perahu. “Jika sudah diberi tanggungjawab dan kepercayaan harus dilaksanakan yang penting konsolidasi,” kata Mika.
Kerja kerasnya berbuah banyaknya dukungan yang mengalir. Bagi Mika bertambahnya dukungan ini pertanda baik. Sebab menurut Mika, masyarakat Aru terutama yang tinggal di pedalaman, masih belum tahu apa-apa mengenai proyek perkebunan raksasa itu. Apa lagi pihak perusahaan yang diwakili tim survei lapangan, telah mempromosikan kepada penduduk, proyek akan mengubah kehidupan mereka lebih baik. Melalui iming-iming pembangunan infrastruktur dan beasiswa hingga ke luar negeri.
Pemerintah Kabupaten Aru juga melihat hadirnya investasi perkebunan itu akan mengubah keadaan di Aru, yang selama ini dikenal sebagai daerah tertinggal dan miskin. “Janji-janji mereka terlalu muluk,” kata Mika. Dipenuhi atau tidak, janji itu tetap membuat penderitaan di masa depan. “Karena hutan kami tidak akan kembali lagi ketika sudah digunduli,” ujarnya.
Mika sudah siap dengan segala risiko, termasuk jika harus dipecat sebagai pegawai negeri. Mika sampai membeli perahu untuk berjaga-jaga jika dipecat. Belakangan perahu itu justru digunakan untuk konsolidasi dengan masyarakat.
Mika dan istrinya yang berprofesi guru, punya cara mendidik dan mengajari anak-anaknya mencintai lingkungan. Bahkan karena saking fokusnya pada perjuangan Save Aru. Mika menamakan anak keempatnya dengan Leisava. Lei yang berarti anak laki-laki, sedang Sava adalah akronim dari Save Aru. Anaknya lahir saat ia sedang gencar-gencarnya memimpin perlawanan.
Empat tahun lalu perjuangannya membuahkan hasil. Rencana pembabatan hutan untuk membuat perkebunan digagalkan. Kini Mika kembali aktivitasnya sebagai pegawai negeri. Awal November 2019 Mika diangkat menjadi lurah di Siwa Lima Kecamatan Pulau.
Meski telah menjabat sebagai lurah dia tetap berdiri sebagai pejuang lingkungan. Ancaman yang paling besar saat ini, menurutnya adalah persoalan illegal logging. Dia juga tidak meninggalkan keterlibatan dalam edukasi dan tugas tugas terkait lingkungan. Dia masih menjadi orang terdepan dalam menghalau pembalakan liar. “Sampai sekarang, dia masih aktif,” ungkap Alo Tabela, Kadis Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Kepulauan Aru.
Menurut Rudy, Mika menjadi inspirasi bagi perjuangan serupa. Mika contoh pemuda yang tidak mementingan kepentingan pribadi. Mika melakukan perlawanan dengan tanpa kekerasan. Sehingga tidak ada warga yang ditangkap atau digugat. Gaya komunikasinya juga tidak dengan kata-kata kasar. Ia masih bertutur baik- baik di hadapan pemerintah dan perusahaan. Ia juga menggunakan media sosial dengan bahasa yang baik, tidak pernah menggunakan kata makian, meski tetap menyerukan pembelaan Aru dan hak-hak masyarakat adat. “Itu yang membuat gerakan Save Aru lebih menarik karena selalu on the track,” ujar Rudy.
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM