“Tantangan anak muda di masa depan adalah perubahan iklim. Bahaya plastik adalah bagian dari itu,”
Terinspirasi perjuangan Mahatma Gandhi yang memilih mogok makan untuk menentang kesewenangan penjajah. Melati Wijsen, 20 tahun dan saudaranya Isabel Wijsen, 18 tahun juga melakukan aksi mogok makan. Tapi mogok makannya kali ini bukan untuk menentang penjajahan, tapi untuk mencari dukungan dan perhatian publik demi gerakan menolak penggunaan kantong plastik di Bali.
Mereka bersama sejumlah relawan sejak 2013 mengusung gerakan Bye, Bye Plastic Bags. Namun sekian lama kampanye anti penggunaan kantong plastik, gerakan itu belum juga memperoleh perhatian masyarakat Bali. Bahkan upaya petisi dan pengumpulan 100 ribu tanda tangan yang dilakukannya belum menggugah aparat setempat
Inspirasi perjuangan Gandhi didapatnya ketika mengunjungi rumah Gandhi saat travelling bersama keluarganya ke India pada 2014. Dari sana tercetus ide itu. Saat itu, program Bye, Bye Plastic Bags telah berjalan setahun. Mereka telah memiliki relawan hingga tim yang terdiri dari beberapa orang, logo dan program kampanye
Mogok makan mereka rencanakan selama 24 jam. Mendengar ide itu, orangtua Melati dan Isabel sempat tak setuju, takut mengganggu kesehatan anak mereka. “Ada kontrol dari dokter dan ahli gizi,” kata Melati pada orang tuanya. Akhirnya aksi nekat itu disetujui.
Ternyata tidak sampai puasa 12 jam, aksi tersebut meluluhkan hati Gubernur Bali saat itu Made Mangku Pastika. Melalui stafnya ia menghubungi keluarga Wijsen dan mengajak bertemu. “Mungkin gubernur terenyuh,” ujar Melati.
Saat bertemu gubernur Bali, “ Saya agak kikuk karena baru pertama kali berjumpa pejabat,” kata Melati. Tapi, Mangku Pastika saat itu mendengarkan dengan seksama program Bye, Bye Plastic Bags.
“Yang ada di benak saya saat itu, kami akan punya pekerjaan besar,” ujarnya.
Setelah pertemuan dengan gubernur, mereka mendadak menjadi sibuk. Melati dan Isabel menghitung hampir seratus rapat mereka ikuti untuk rencana program pengurangan sampah plastik di Bali.
Aksi panjang Melati dan Isabel pun akhirnya berbuah. Pemda saat dipimpin, I Wayan Koster akhirnya, mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 mengenai pembatasan timbunan sampah plastik sekali pakai.
Soal sampah plastik bagi Melati dan Isabel bukanlah hal baru. Sejak duduk di sekolah dasar Sekolah Hijau mereka sudah gusar melihat sampah plastik banyak dibuang sembarangan. “Apalagi ketika jalan di sawah, pantai dan sekitar rumah,” ujarnya.
Dari sana mereka akhirnya sepakat membuat sebuah gerakan untuk mengajak rekan sebaya lebih peduli dengan penggunaan plastik sekali pakai. Tercetuskan ide membuat komunitas Bye, Bye Plastic Bags, yang memerangi dan mengkampanye penggunaan kantong plastik .
Apalagi Melati memiliki pengalaman menjengkelkan terkait sampah plastik.Sekitar dua tahun lalu ia sempat membeli ikan dari nelayan. Setelah memasak dan hendak mengkonsumsi ia menemukan potongan sampah plastik menyerupai potongan kuku di dalam tubuh ikan. “Itu sangat menjengkelkan,”.
Selain kampanye, dalam kehidupan sehari-hari dua bersaudara Wijsen ini, sangat mengontrol penggunaan sampah plastik, jika terpaksa menggunakan ia selalu memilahnyanya. Bahkan alat rumah tangga mereka pilih non bahan plastik, misalkan sikat gigi ia pilih yang menggunakan dari bambu.
Memulai gerakan anti kantong plastik tetap bertahan hingga sekarang bukan hal mudah. Dua dara yang telah mendapatkan beberapa penghargaan internasional ini paling sulit menjaga konsistensi. Sekarang Bye, Bye Plastic Bags telah ada di lebih 30 negara, melibatkan sekitar lima ribu relawan. “Anak muda semangat untuk perubahan ke arah yang lebih baik,”
Selain pemahaman soal bahaya sampah plastik gerakan Bye, Bye Plastic Bags juga mengajarkan tentang public speaking dan leadership.
Melati Wisjen juga mendirikan gerakan One Island One Voice pada 2015. Lebih dari 500 pengusaha yang berbasis di Bali berkumpul untuk mengatakan tidak pada plastik sekali pakai. Komunitas mereka juga menggerakan 12 ribu orang untuk bersama membersihkan Bali dari sampah, hingga terkumpul 40 ton sampah plastik
Pada 2016, sebanyak 13 negara berminat bergabung dan menerapkan program, “Bye Bye Plastic Bags” di negara masing-masing. Di tahun yang sama Melati dan Isabel sempat diundang ke Berlin, Jerman, untuk menerima penghargaan Bambi, ajang bergengsi yang memilih sosok inspiratif.
Pada 2017 mereka juga membuat program Mountain Mamas, sebuah usaha sosial yang memberdayakan perempuan di daerah Tabanan, Bali untuk membuat tas kantong kain, sebagai alternatif kantong plastik. Usaha ini kerjasama komunitasnya dengan masyarakat.
Pembagian keuntungan 50 persen untuk Bye, Bye Plastic Bags dan 50 persen masyarakat desa setempat untuk pendidikan, pengelolaan limbah dan asuransi kesehatan. “Uangnya dikelola di desa,” ujarnya.
Terakhir, remaja murah senyum ini menggarap proyek Youthtopia yang fokus pada pemberdayaan anak muda dengan berbagai kemampuan seperti, sosial media, interaksi sosial hingga pembuatan video dan film untuk kampanye perubahan.
“Tantangan anak muda di masa depan adalah perubahan iklim. Bahaya plastik adalah bagian dari itu,” katanya. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM