“Organisasi ini terbentuk karena kegelisahaan, banyaknya kasus-kasus satwa laut terdampar di Indonesia. Banyak pula satwa yang akhirnya tidak bisa diselamatkan,” ujar Dwi.
Dwi Suprapti, merupakan salah satu srikandi konservasi kebanggaan Kalimantan Barat. Dokter hewan kelahiran Singkawang 37 tahun lalu ini dikenal dengan sebutan Dwi Penyu, karena aktivitasnya berkutat dengan penyu. Tak hanya lantaran jabatannya sebagai Marine Species Conservation Coordinator WWF-Indonesia, dia juga mendedikasikan ilmu dan tenaganya untuk organisasi nirlaba keprofesian, IAM FLYING VET (Indonesian Aquatic Megafauna Veterinary Medicine Association).
“Organisasi ini terbentuk karena kegelisahan, banyaknya kasus-kasus satwa laut terdampar di Indonesia. Banyak pula satwa yang akhirnya tidak bisa diselamatkan,” ujar Dwi, 14 April 2021.
Dari banyak kasus satwa terdampar, umumnya penanganannya dengan pelepasliaran ke habitat, setelah satwa dianggap sehat. Padahal untuk satwa yang sakit, diperlukan perlakuan khusus. “Di daerah, tidak semua dokter hewan memiliki pengalaman mengatasi satwa terdampar. Apalagi yang berukuran besar,” ujar Dwi. Termasuk juga untuk penanganan satwa-satwa hasil sitaan aparat penegak hukum.
Dwi teringat kasus tangkapan penyu oleh aparat. Penyu dalam kondisi disusun bertumpuk-tumpuk, sirip depannya diikat. Salah satu penyu siripnya patah, infeksi dan harus diamputasi. Penyu yang paling bawah kondisinya paling memprihatinkan. Organ dalamnya nyaris keluar dari kloaka, karena tekanan. Penyu-penyu tersebut tentu tidak bisa langsung dilepasliarkan ke alam.
“Saya kadang telepon teman-teman dokter hewan di daerah tempat kejadian. Banyak yang masih bingung dalam menangani kasus di lapangan, walau saya memandu dari jauh,” ujarnya.
Salah satu peristiwa yang kemudian mengilhaminya mengumpulkan dokter hewan untuk menyelamatkan satwa laut, adalah terdamparnya 10 paus sperma di Pantai Ujong Kareng, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Aceh pada 2017 lalu. Peristiwa itu banyak disorot media internasional.
Dwi berupaya melakukan nekropi pada empat paus yang mati. Sementara enam paus lainnya berhasil selamatkan dan kembali ke laut. “Saat itu, teman-teman sejawat belum ada yang berpengalaman melakukan nekropi satwa sebesar paus,” ungkapnya.
Sejak itu, terbentuklah organisasi Flying Vet. Terdiri dari 19 dokter hewan yang berkomitmen mendedikasikan ilmu dan tenaganya secara sukarela untuk kasus-kasus satwa air raksasa. “IM Flying Vet diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan tenaga dokter hewan untuk bergerak cepat, tanggap, legal dan kompeten, dalam melakukan penanganan satwa yang terdampar, sekalipun di daerah terpencil,” tambah Dwi.
Suka duka dijalani Dwi saat menangani kejadian di lapangan. “Paling bahagia kalau berhasil melepasliarkan satwa yang terdampar setelah dirawat. Paling sedih kalau satwanya tidak berhasil diselamatkan,” tukasnya.
Dwi mengisahkan, salah satu kasus yang menyita emosi dan tenaganya. Seekor penyu hijau ditemukan terdampar dalam kondisi lemah oleh Bali Sea Turtle Society. Menarik lantaran di Kuta bukan tempat peneluran penyu hijau. Saat diselamatkan, penyu tersebut terlihat menahan sakit dan mal nutrisi. Ternyata, dari kloakanya keluar plastik kresek hitam utuh.
Dwi pun memberikan perhatian penuh, terlebih karena penyu itu tidak mau makan. Setelah dirontgen, ternyata perut penyu itu penuh dengan plastik. Dengan telaten, Dwi memberikan perlakuan khusus. “Saya tungguin terus, setiap keluar plastik langsung dirontgen. Akhirnya, seluruh plastik keluar dari perutnya, jumlahnya 70 plastik dalam berbagai macam ukuran,” katanya.
Betapa haru Dwi menghantarkan penyu itu kembali ke habitatnya. Pengalaman lainnya ketika satu bayi dugong terpisah dari induknya. Bayi ini mengikuti salah satu instruktur diving, agaknya untuk mencari susu.
Dwi terbang langsung ke Raja Ampat untuk melakukan penyelamatan, meski medan tidak mudah. Ada kendala transportasi, yang hanya ada pada jam-jam tertentu. Dwi harus melawan keresahan hati mengingat bayi dugong tersebut.
Dwi pun meminta staf resort memberikan susu setiap dua jam sekali. Tetapi ada tantangan lain, pemberian makanan, dan perawatan itu tidak dapat dilakukan di tempat khusus. Akibatnya, banyak masyarakat melihat. “Timbul kekhawatiran, hal ini bakal dicontoh dan malah mendorong pemeliharaan oleh warga,” katanya.
Si bayi dugong akhirnya dibiarkan lepas liar. Namun, bayi dugong itu tidak berenang jauh dari perairan dekat resort. Bayi itu pun main ke kolong rumah warga. Warga memberinya nasi, sehingga tak berapa lama, bayi tersebut ditemukan terdampar dalam keadaan sakit yang berujung kematian. Dwi datang untuk melakukan nekropi, didapati usus buntunya infeksi karena mengonsumsi yang bukan makanannya. Hal ini membawa kedukaan mendalam bagi Dwi.
Sarana dan prasarana yang ada memang jauh dari skala baik. Namun berkat suaranya, akhirnya, pemerintah dan beberapa lembaga berencana membuat klinik khusus untuk perawatan satwa liar. “Ada kolega di Bali yang bersedia menyediakan kliniknya untuk satwa yang berukuran kecil. Sedangkan untuk satwa yang berukuran besar, tengah dipikirkan untuk membuat keramba apung sebagai klinik,” ujarnya.
Akademisi Aceh, Samsul Bahri (30), menyebut Dwi perempuan yang tidak biasa. Jika orang lain ingin jadi PNS atau buka praktek. Dwi memilih jalan di bidang konservasi. Berkat dia, masyarakat teredukasi bahwa menjaga sumber daya alam lebih memberikan manfaat ekonomi, ketimbang memberdayakannya secara instan.(*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM