“Ayo semua orang menggunakan keahliannya untuk misi penyelamatan lingkungan. Karena masalah lingkungan hidup harus diatasi secara sistematik dan masif. Keadaan sudah sangat darurat,”
Tiza Mafira, 37 tahun tak berpikir panjang saat ditawari berperan dalam film dokumenter “Pulau Plastik”. Ia melihat film soal lingkungan adalah media yang baik dalam mengkampanyekan kepedulian lingkungan dari ancaman kerusakan, terutama oleh sampah plastik.
“Waktu diajak bermain film dokumenter ini, saya nggak terbayang filmnya akan masuk layar lebar. Saya berkegiatan normal sehari-hari, tidak terasa sedang shooting, hanya diikuti kru kamera tanpa diarahkan,” tutur Tiza menceritakan soal keterlibatan dalam film itu.
Apalagi teman mainnya adalah kawan-kawan lama yang biasa berjejaring dalam kampanye pengurangan plastik. “Saya sudah lama mengenal Robi dan Prigi Arisandi karena kita sama-sama aktif dan berjejaring dalam kampanye pengurangan plastik sekali pakai,” ujarnya. Gede Robi adalah vokalis band Navicula, sedang Prigi Arisandi adalah peneliti biologi yang konsen pada pencemaran sampah plastik. Film Pulau Plastik berkisah tentang peran tiga tokoh dari tiga profesi berbeda berjuang merawat dan mengadvokasi lingkungan dari ancaman sampah plastik.
Tiza mengaku senang jika film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono dan Rahung Nasution itu akhirnya dapat diputar di bioskop. “Penting sekali bagi saya bahwa film ini bisa menjangkau masyarakat dari semua demografi, dan ada perspektif dari tiga profesi yang berbeda dalam film ini dengan caranya masing-masing untuk beraksi,” tuturnya.
Di kalangan aktivis lingkungan nama Tiza Mafira sebenarnya tak asing lagi. Perempuan lulusan Harvard Law School ini telah terbiasa berkecimpung dalam kegiatan lingkungan. Sejak kecil Tiza mengaku sudah tertarik dengan masalah lingkungan, dari hal-hal kecil seperti benci dengan orang yang buang sampah sembarangan.
Ketika duduk di SMP, dia mulai melakukan hal yang berkaitan dengan kepedulian lingkungan seperti membuat kerajinan tangan dari sampah daur ulang. Selepas SMA, kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan Hukum Internasional, lalu mengambil kuliah pascasarjana di Universitas Harvard, dengan spesialisasi yang berkaitan dengan lingkungan, yakni Hukum Korporat, Pemanasan Global, dan Perdagangan Karbon.
Tiza sempat bekerja di kantor hukum selama 6 tahun. Merasa tidak mendapat kepuasan di bidang itu, Tiza meninggalkan pekerjaan itu dan menggeluti kegiatan aktivis lingkungan. Dia dikenal menjadi penggagas gerakan Diet Kantong Plastik yang menyerukan kampanye pengurangan penggunaan plastik sekali pakai.
Gerakan itu diilhami kejadian yang tidak mengenakan yang dialami Tiza pada 2013. Saat itu ia terjebak banjir di kawasan Sudirman Jakarta. Dari sana ia melihat betapa buruk dampak sampah yang tidak dikelola dengan baik, khususnya sampah plastik.
Lalu Tiza tergerak membuat gerakan diet kantong plastik bersama teman-temannya. Kampanye diet kantong plastik adalah cara komunitas ini mengajak masyarakat untuk membawa kantong belanjanya sendiri—baik yang berbentuk tas belanja, maupun plastik bekas yang mereka miliki.
Aksi mereka berlanjut dengan membuat petisi Pay for Plastic Bag. Petisi yang isinya meminta para pedagang dan pengecer untuk tidak lagi memberikan kantong plastik secara gratis pada pembeli.
Petisi itu berhasil mengumpulkan dukungan 70 ribu tanda tangan. Petisi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Gerakan Diet Kantong Plastik yang mendesak pemerintah dan para pelaku bisnis ritel untuk tidak menggratiskan kantong plastik.
Pada tahun 2016 upaya yang telah berlangsung selama 8 tahun itu dapat mendorong pemerintah dan para pelaku bisnis ritel mulai memberlakukan uji coba kantong plastik berbayar. “Kami terus melakukan pendampingan ke pemda-pemda dan langkah ini dimulai dari Kota Banjarmasin,” kata Tiza.
Setelah Banjarmasin, beberapa kota di wilayah lainnya seperti Jakarta, Bali dan Bandung mengikuti langkah yang sama, menerapkan kantong plastik berbayar.
Perjuangan Tiza Mafira melalui Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik mengantarkannya menjadi satu dari lima tokoh aktivis lingkungan hidup penerima penghargaan Ocean Heroes dari Badan Lingkungan PBB (UN Environment Programme) pada 8 Juni 2018.
Kini, sudah 60 kota yang menerapkan kebijakan yang sama. “Ini sudah melebihi target awal kami yang semula cukup 40 kota,” kata Tiza.
Atas pencapaian ini, Tiza meraih Anugerah Revolusi Mental dari Pemerintah karena berhasil mendorong pemda melakukan larangan kantong plastik. Setelah target awal melebihi pencapaian, Tiza ke depan ingin memperluas lagi cakupan ke pasar tradisional. “Objek ke plastik sekali pakai dikembangkan ke sterofoam dan sedotan.” ujarnya.
Tiza, berharap seluruh elemen bisa berperan serta dalam misi penyelamatan lingkungan. “Ayo semua orang menggunakan keahliannya untuk misi penyelamatan lingkungan. Karena masalah lingkungan hidup harus diatasi secara sistematik dan masif. Keadaan sudah sangat darurat,.” pesannya.
Tiza yang rela meninggalkan kehidupan mapannya di kantor hukum, kini semakin mantap menapaki jalan sebagai aktivis lingkungan. Wanita yang juga mengajar di sejumlah perguruan tinggi ini, selain sebagai Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik.
Ia juga menjabat sebagai Direktur Muda Climate Finance Climate Policy Initiative. Sebuah lembaga riset perubahan iklim yang fokus pada masukan kebijakan soal pendanaan untuk iklim agar lebih efektif mengalir pada energi terbarukan bukan pada sektor batu bara dan minyak bumi. Lembaga ini berbasis di Amerika, Inggris, Brazil dan India.
Selain dua jabatan itu wanita yang pernah menjadi analisis di kantor Staf Khusus Presiden bidang Internasional era SBY, meski di masa pandemi covid-19 memiliki kesibukan luar biasa. Seabrek kegiatan seperti undangan diskusi, seminar, pertemuan dan rapat selalu menjadi rutinitas sehari–hari. “Padat setiap hari meeting,” ujarnya. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM