Suyadi sudah puluhan tahun berjuang mengembalikan mangrove di kampung halamannya Dukuh Kaliuntu, Desa Pasarbanggi, Rembang, Jawa Tengah. Ia mulai tergerak pada 1960, setelah kemunculan ancaman banjir rob yang mulai merangsek kampung halamannya yang berjarak 500 meter dari bibir pantai.
Suyadi yang saat itu berusia 22 tahun menyadari bahwa rob yang mengancam kampungnya terjadi karena hutan bakau yang sebelumnya menjadi penahan pantai telah gundul. Hutan mangrove itu dibabat untuk perluasan tambak. Akibatnya, pantai menjadi gundul dan tidak ada yang melindungi pemukiman.
Berbekal pohon mangrove yang tersisa, ia mencoba melakukan pembibitan. Pada 1964, bibit itu mulai ditanamnya di bekas lahan mangrove yang gundul. Namun upayanya tak berjalan mulus. Berbagai kendala ia temui, mulai dari pohon mangrove yang terseret ombak, mati karena sampah dan lumpur, bahkan ada yang sengaja dirusak orang.
Ingin menanam lagi, tapi bibit sudah habis. Karena kekurangan bibit ia pun membeli ke kabupaten tetangga. “Kami swadaya untuk mengadakan bibit, bahkan saya sampai harus menjual sepeda untuk membeli bibit, “ ujar Suyadi ditemui baru-baru ini.
Pada 1972, warga bersepakat membentuk Kelompok Sidodadi Maju, sebagai kelompok warga peduli mangrove, ekosistem dan keberlangsungan lingkungan hidup di kawasan pesisir Pasarbanggi. Suyadi didapuk menjadi ketua kelompok. Posisi itu diemban Suyadi hingga tahun 1991. Meski regenerasi silih berganti, Suyadi yang kini berusia 79 tahun tetap didaulat sebagai sesepuh dan pembina kelompok ini.
Meski telah terbentuk kelompok peduli mangrove, ancaman pembabatan hutan bakau kembali muncul pada tahun 2000-an. Kelompok peduli mangrove sampai harus bersitegang dengan kelompok yang ingin membuka lahan tambak. Bahkan ratusan polisi harus diturunkan untuk meredakan ketegangan antara dua kelompok tersebut. Untung saja, persoalan bisa diselesaikan dengan damai. Dan upaya pembabatan hutan mangrove di pesisir Pasarbanggi bisa digagalkan.
“Kami tak menyangka kalau ternyata banyak yang mendukung upaya penyelamatan mangrove ini. Bahkan pihak TNI Angkatan Laut juga mendukung kami,” ujar Suyadi yang didampingi Purwanto pengurus Sidodadi Maju.
Upaya konservasi sekaligus merawat hutan mangrove yang dilakukan Suyadi dan kelompok Sidodadi Maju terus berkembang. Ancaman abrasi di pesisir Pasarbanggi terus berkurang. Bahkan, saat ini di kawasan sekitar hutan mangrove, tiap tahun malah muncul daratan baru sekitar setengah hektar seiring proses sedimentasi. Daratan baru itu ada yang sudah berubah menjadi kawasan pemukiman dan area kebun hortikultura.
Saat ini, luasan pesisir Pasarbanggi yang sudah ditanami mangrove mencapai 65 hektar. Di kawasan hutan bakau ini hidup sekitar 19 spesies burung. Selain itu, berbagai biota hingga ikan-ikan kecil berbagai jenis juga hidup di sela-sela akar mangrove. Hutan bakau ini juga menjadi “paru-paru” bagi Kabupaten Rembang dan sekitarnya karena pohon bakau bisa menyerap karbon dioksida 3 higga 5 kali lipat lebih besar dibanding tanaman biasa.
Tak hanya itu, hutan mangrove ini juga menjadi “lahan penghidupan” baru bagi warga sekitar. Sejak tahun 2013, aktivitas ekowisata mulai berdenyut di kawasan pesisir Pasarbanggi. Sebelum pandemi Covid-19, tiap bulan ada 5000-9000 wisatawan dari berbagai kota yang berkunjung ke hutan mangrove Pasarbanggi. Rata-rata, pemasukan dari parkir kendaraan wisatawan berkisar antara Rp 8 juta-Rp 9 juta tiap bulan. Bahkan pendapatan parkir saat libur hari raya pernah mencapai Rp 14 juta.
Selain itu, perekonomian warga setempat juga ikut terdongkrak. Ada sekitar 50 warga yang beraktivitas seiring menggeliatnya pariwisata di hutan mangrove ini. Mereka ada yang menjadi penjual aneka kuliner, souvenir, tukang parkir, tenaga kebersihan dan lainnya.
Ruang kreativitas warga, khususnya perempuan dan anak-anak muda setempat juga terus terbuka. Ada yang bikin aneka kudapan, batik hingga kopi berbahan dasar bakau. Desa Pasarbanggi juga turut kecipratan berkah hutan mangrove ini. Tiap tahun, aktivitas pariwisata ini ikut menyumbang kas desa, khususnya Dusun Kaliuntu (lokasi hutan mangrove) yang digunakan untuk menyokong berbagai fasilitas publik seperti lampu penerangan dan perbaikan jalan hingga dana sosial warga setempat.
“Desa malah belum pernah memberi bantuan untuk kami. Justru dari mangrove ini kami bisa ikut membantu desa. Sejak 2014 sebanyak 30 persen hasil parkir kami serahkan ke kas desa,” jelasnya.
Berdasar hasil penelitian akademisi Universitas Diponegoro yang dipublikasikan tahun 2019, ada tiga jenis mangrove yang dominan di pesisir Pasarbanggi yakni Rhizopora Stylosa, Rhizopora Muncronata dan Rhizopora Apiculata dengan kerapatan mangrove tertinggi yaitu 62 ind/100m2 dan ketebalan mangrove tertinggi sepanjang 139 meter. Kondisi hutan mangrove Desa Pasarbanggi termasuk dalam kategori sesuai untuk kegiatan wisata berkelanjutan di Kabupaten Rembang.
Kesuksesan upaya konservasi mangrove di pesisir Desa Pasarbanggi kian dikenal luas. Suyadi dan anggota kelompok Sidodadi Maju kerap diundang di berbagai kota baik kawasan Pulau Jawa maupun luar Jawa untuk berbagai pengalaman dan wawasan seputar upaya konservasi mangrove.
Berbagai kalangan baik dari swasta, pemerintah hingga akademisi perguruan dalam dan luar negeri juga pernah mendatangi hutan mangrove Pasarbanggi. Salah satunya akademisi dari Okinawa Jepang.
Kiprah Suyadi juga diapresiasi berbagai kalangan. Ia misalnya pernah mendapat penghargaan dari PWI Jawa Tengah untuk bidang lingkungan hidup. Ia juga pernah meraih penghargaan Adibakti Mina Bahari baik tingkat Provinsi Jateng. Lalu tahun 2013 penghargaan Adibakti Mina Bahari tingkat nasional tahun 2013 kategori Pemanfaatan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sementara itu, Direktur Program Eksternal Yayasan IKAMaT (Mangrove Untuk Masyarakat), Cahyadi Adhe Kurniawan mengatakan sewaktu kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip banyak belajar tentang mangrove dari Suyadi. Selain belajar langsung ke Rembang, Suyadi juga sering diundang sebagai pembicara seminar yang digelar di kampus.
Menurut Cahyadi, dosen maupun mahasiswa angkatannya kerap memanggil Suyadi dengan sebutan doktor mangrove. Sebab Suyadi memang memahami seluk beluk mangrove. Bahkan acapkali wawasannya terkait mangrove lebih tepat dibanding teori yang tertulis di buku. Terutama terkait soal pembibitan mangrove.
“Pak Suyadi itu mengayomi anak-anak muda. Ia juga tidak pelit ilmu,” ujar Cahyadi.
Rampung kuliah, Cahyadi masih kerap komunikasi dengan Suyadi maupun kelompok Sidodadi Maju. Tahun 2015, ia pernah melatih kalangan perempuan Desa Kaliuntu, Pasarbanggi untuk pembuatan makanan berbahan dasar bakau dan melatih pembuatan batik dan kopi berbahan dasar mangrove. “Hutan mangrove Desa Pasarbanggi berkembang seperti sekarang berkat keuletan dan kegigihan Pak Suyadi. Agak sulit menemukan sosok yang bertahan puluhan tahun menggeluti mangrove seperti Pak Suyadi,” ungkap pemilik Batik Bakau ini.
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM