Berawal dari hobinya naik gunung dan camping di hutan, Salsabila Khairunisa atau biasa dipanggil Abil memiliki kecintaan terhadap hutan dan alam. Bahkan ia memutuskan untuk terjun menjadi aktivis lingkungan. Belakangan nama Salsabila semakin kondang, setelah bersama teman-temannya mengusung sebuah gerakan yang tak lazim dilakukan oleh anak seusianya, yakni gerakan mogok sekolah untuk membela hutan.
Dengan dukungan sejumlah anak muda, Abil meninggalkan waktu pelajaran untuk berdemo di depan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI. “Saya merasa, untuk melindungi hutan kita tidak cukup hanya berteori di sekolah, tapi harus ada aksi nyata dan fokus turun ke lapangan,” kata Abil, Ahad 11 April 2021.
Apa yang Abil lakukan ini tentu saja terinspirasi dari gerakan mogok sekolah yang dilakukan oleh Greta Thunberg, seorang siswa asal Swedia. Pada 17 Januari 2020 untuk pertama kalinya, Abil bersama kelompoknya turun ke jalan untuk membela hutan.
Abil juga mendirikan forum Jaga Rimba di media sosial. Sebuah forum dan gerakan kampanye lingkungan yang militan dari generasi Z. Mereka berfokus pada kampanye-kampanye melawan ekspansi sawit. Secara khusus Abil dan Jaga Rimba juga memberikan dukungan pada masyarakat adat Kinipan melalui kampanye #savekinipan.
Abil mengaku, saat itu dalam dirinya terjadi gejolak batin. Dia merasa selama ini duduk di bangku sekolah tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perlindungan hutan, bahkan dia merasa selama 8 jam belajar sehari tanpa aksi itu sama saja membiarkan kerusakan hutan yang dia klaim terjadi per lima belas menit sekali. “Kalau bicara ilmu, tentu di Kementerian banyak ahli teori, ada yang S2 sampai gelar profesor. Tapi kenapa kerusakan hutan, kok malah terus terjadi?” ujarnya.
Puncak gejolak batinnya terjadi saat harus memutuskan untuk memilih antara pendidikan dan aksi turun ke jalan untuk menyelamatkan hutan dan lingkungan. Akhirnya ia memilih untuk meninggalkan bangku sekolah di SMA 34 Jakarta. Padahal, saat itu, sudah di kelas XI semester akhir. Abil mengakui keputusannya itu menyulut pertanyaan besar dan terjadi perdebatan antara dirinya dengan orang tuanya. “Sejak saat itu, saya tidak pernah keluar dari kamar, tidak makan, katakanlah saya demo ke ortu,” tutur Abil. Melihat putusan anaknya orang tua akhirnya mengajak bicara. Demi melihat keras hati sang anak orang tua akhirnya memberi kepercayaan kepada anaknya untuk berfokus menjadi aktivis, dengan syarat ia bisa bertanggungjawab.
Meski sempat terlempar dari bangku sekolah, sebagai pertanggung-jawaban dirinya dan orang tua kepada dunia pendidikan, Abil akhirnya mengikuti paket kesetaraan dan dinyatakan lulus. Abil menyebut, ada rencana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana dan bercita-cita masuk ke fakultas antropologi. Namun, niatnya itu akan dia realisasikan nanti. “Mungkin setahun ini saya rehat dulu, fokus ke alam dan belajar detail secara langsung dengan alam,” tuturnya.
Abil memilih berkampanye lewat Jaga Rimba di media sosial, karena inilah cara paling efektif untuk berkomunikasi dengan generasi muda. “Jadi mereka main sosmed enggak hanya yang alay-alay, tapi juga harus punya pikiran kritis atau paling tidak memahami segala petaka dan bencana yang terjadi karena rusaknya lingkungan di sekitar,” kata Abil.
Abil mencontohkan, saat terjadi banji di Jakarta, banyak anak muda yang hanya mengeluh dan meminta kepada pemerintah untuk segera mencari solusinya agar rumah mereka tidak lagi kebanjiran. Hanya sedikit yang dapat melihat penyebab kenapa banjir terjadi. Sehingga, saat ini menjadi tugas dirinya sebagai aktivis lingkungan, untuk menyadarkan pemahaman dan merawat lingkungan.
“Ke depan, aktivitas itu saya lanjutkan., “ ujarnya. Bahkan ia punya keinginan besar untuk membuat web dan podcast khusus yang bicara tentang kasus kerusakan alam dan perubahan iklim.
Aktivis lingkungan yang juga Kepala Greenpeace Indonesia Leo Simanjuntak, memandang Abil sebagai anak muda yang patut menjadi contoh untuk generasinya. Aktivitasnya menjadi inspirasi bagi generasi seusianya yang peduli pada krisis iklim dan gencar melawan penyebab-penyebab terjadinya krisis iklim. “Kontribusi spesifik dari Salsa dan Jaga Rimba terhadap gerakan iklim di Indonesia adalah dia menjadi role model dan inspirasi bagi para remaja generasi Z Indonesia,” tuturnya.
Menurutnya dampak dari kampanye yang dimotori Salsa dan Jaga Rimba adalah meluasnya kesadaran masyarakat, khususnya generasi Z, akan krisis iklim. Sekaligus juga peringatan kepada pemerintah dan korporasi bahwa gerakan iklim ini mulai kian meluas, dengan pesan-pesan yang makin direct agar krisis iklim ini segera diatasi.(*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM