Terilhami pengalamannya tinggal dan bekerja di Cina yang kualitas udara dan airnya buruk. Rendy membangun desa mandiri, tanpa sampah dan membangun rumah mikro dari bahan daur ulang sampah.
Rendy Aditya Wachid, 35 tahun, tak menyangka pengalaman di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menjadi titik balik hidupnya. Pengalaman itu berawal saat perjalanan pulang dari Shanghai, Cina awal 2016. Begitu turun dari pesawat, ia merasakan udara yang sangat berbeda. Seperti untuk pertama kalinya, Rendy merasakan udara yang begitu segar. “Padahal, itu di Cengkareng, Tanggerang, loh.”.
Sejak itu Rendy tersadar, bahwa udara bersih sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia. Mengingat ke belakang, sebelum tiba di Cengkareng. Sehari-hari, Rendy bekerja di sebuah perusahaan di Shanghai, Cina. Kota Shanghai, menurutnya tak sementereng yang dibayangkan orang.
Setiap kali akan pergi bekerja, Rendy harus selalu memakai masker, karena udara di sana begitu buruk. Selain itu, kualitas air pun di bawah standar. Rendy harus membeli banyak air mineral botol hanya untuk rutinitas sikat gigi. “Karena kualitasnya air krannya begitu buruk,” kata Rendy, Rabu, 14 April 2021.
Begitu pula saat tiba di Parongpong, Bandung Barat, tempat tinggalnya, ia seperti merasakan oase. “Pas, menghirup udara di Parongpong, saya seperti nangis. Mengingat begitu buruk udara yang ku hirup bertahun-tahun”.
Sejak saat itu ia berniat tak ingin kembali merantau ke Cina. Pemuda bergelar master ini pun bertekad tak ingin mewariskan kondisi udara buruk kepada anak-anaknya kelak. Saat istri Rendy hamil anak pertama, Rendy pun berandai-andai, udara seperti apa yang akan dihirup anaknya kelak.
“Kalau anak saya harus mengalami hal yang sama dengan saya berarti orang tuanya tidak menyelesaikan masalah yang diciptakan generasi sebelumnya,” ujarnya.
Berangkat dari kecemasan itu, Rendy yang berlatar arsitek itu mulai merancang bisnis yang ramah lingkungan. Ia memutuskan membuat desa mandiri lestari di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, yang ia persembahkan untuk anaknya.
“Anak saya sih, yang membuat saya membangun tempat itu. “ “Saya bilang ke istri, kalau nggak ada tempat seperti itu, kita bikin desa mandiri lestari sendiri,” ujarnya.
Rendy lantas membeli lahan seluas 5 hektar, satu hektar ia gunakan untuk berkebun strawberi organik yang dikelola keluarganya. Berikutnya, Rendy mulai melirik sampah. Ia bermimpi andaikan kawasan yang ia gagas bisa bebas sampah atau Zero Waste to Landfill.
Mimpinya itu terilhami oleh kondisi desanya, yang telah berubah dari desa peternakan, menjadi tempat pembuangan sampah. Karenanya ia bertekad menjadikan Parongpong Kota Tanpa Sampah seperti halnya kota Kamikatsu di Jepang.
Pada 2017, Rendy mulai mendirikan Parongpong Recycle and Waste Management. “Parongpong ketika saya mulai, banyak sampah residu yang umurnya panjang, seperti styrofoam bisa berumur 450 tahun, puntung rokok yang bisa belasan tahun”. Mendapati banyaknya material dengan umur panjang , ia berfikir untuk tak menyia-yiakan material itu. Maka dimanfaatkanlah sampah tersebut, untuk berbagai keperluan seperti bahan pembuatan rumah mikro karyanya.
Bisnis yang di kembangkan Rendy juga berfocus pada proyek yang berkelanjutan, kewirausahaan Sosial dan industry kreatif. Selain mengajar kelas bisnis bagi desainer muda di perguruan swasta. Rendy yang bergelar master dari Intitute Tehnologi Bandung juga mendirikan Parongpong RAW lab perusahaan pengelolaan sampah. Parongpong yang didirikannya memberikan pelatihan, bengkel, mesin pengolahan sampah bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung.
Selain kegiatan itu Rendy juga membangun Rawhaus, yang memproduk rumah mikro dari bahan daur ulang,untuk masyarakat tak mampu. Serta membuka resto nabati pertama di Bandung dengan nama Burgreens Bandung . Serta seabrek aktivitas kreatif lainnya. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM