“Apabila kawasan tangkapan air berfungsi dengan baik, maka ancaman tanah longsor dan banjir dapat diatasi serta mata air tetap terjaga. Hal ini juga menyebabkan ketersediaan air bersih terpenuhi dan irigasi lahan sawah berjalan lancar.”
Kejadian paceklik pada 1970 karena kekeringan yang panjang menjadi trauma bagi warga Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Dimana sawah mereka kering kerontang dan terjadi gagal panen, banyak warga yang kemudian meninggalkan desa untuk mencari kehidupan di tempat lain.
“Saat itu Umur saya masih 2 tahun. Orang tua di desa selalu mengulangi cerita ini ke kami para anak muda,” kata Kohapa, pria kelahiran Desa Pajar Bulan, 2 Januari 1968.
Peristiwa serupa terulang 23 tahun kemudian, kekeringan kembali melanda desa mereka pada 1993. Mata air dari hulu hulu sungai kecil mengalir. Sawah kembali kekeringan dan terjadi gagal panen, perekonomian desa pun terhambat.
“Pengalaman ke dua ini membuat saya sadar betapa pentingnya keberadaan sumber mata air,” tutur petani yang menetap di talang Pelakat sejak 1991. Talang Pelakat adalah sebuah kampung (sementara) kecil di dekat hutan, di kecamatan Semende Darat Ulu.
Dua kejadian itu menjadi tamparan bagi Kohapa dan mendarkan mereka bahwa kehidupan mereka sangat tergantung pada sumber mata air, untuk mengairi sawah dan kebutuhan hidup mereka.
Sejak itu Kohapa mengamati sumber mata air di sekitar desanya, kesimpulannya bahwa mata air mengecil bahkan mengering karena pohon-pohon di sekitarnya habis dibabat. Ia pun berdiskusi dengan petani yang mengandalkan air sungai untuk irigasi sawah.
Hasilnya positif, mereka sepakat membentuk kelompok bernama Datuk Siring yang bertugas menjaga hutan di sekitar sumber mata air dan memastikan pasokan air irigasi selalu berkecukupan. Kelompok ini melakukan pengecekan sebulan sekali secara beregu. Satu tim terdiri dari 6 orang.
“Hasilnya bagus, hutan terjaga dari perambahan, lahan kosong bekas perambahan juga ditanami pohon-pohon baru dan air terus mengalir deras.”
Sawah mereka tidak lagi kekurangan air. Desa lain pun mengikuti kekompakan petani talang Pelakat dalam mengelola sumber air. Tahun 2007, talang ini pun ditetapkan menjadi desa bernama Desa Pelakat. Kohapa menjadi kepala desa pertama selama 6 tahun kemudian.
Desa baru ini pun bekerjasama dengan Lembaga Pembantu Penjaga Kelestarian Hutan (LPPKH) dengan pihak UPTD Kehutanan Kecamatan Semende Darat Ulu dan Dinas Kehutanan Kabupaten Muara Enim, mereka menjalin kerjasama dengan pihak kehutanan provinsi dan dinas perkebunan dalam hal pengelolaan hutan desa. Mereka juga memiliki berbagai kegiatan usaha mandiri seperti kelompok kebun kopi arabika, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) berkapasitas 35 KW yang merupakan program pemberdayaan LAZ Al Azhar Peduli Umat bersinergi dengan CSR PT. Bukit Asam Tbk, home industri Rumah Kopi, dan kerajinan sampah.
Mereka juga melakukan penghijauan di lahan seluas lebih dari 200 hektare hingga rehabilitasi disepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Membangun empat buah kolam di lingkungan desa. Melakukan perlindungan 9 sumber mata air melalui pembangunan struktur pelindung, penanaman vegetasi, dan pembuatan 2 aturan, yaitu Perdes mengenai Perlindungan Sumber Mata Air dan Perdes tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Mata Air Desa.
“Apabila kawasan tangkapan air berfungsi dengan baik, maka ancaman tanah longsor dan banjir dapat diatasi serta mata air tetap terjaga. Hal ini juga menyebabkan ketersediaan air bersih terpenuhi dan irigasi lahan sawah berjalan lancar.”
Desa Pelakat berada di salah satu puncak Bukit Barisan pada ketinggian di atas 1.420 meter di atas permukaan laut. Dari ibu kota Kecamatan Semende Darat Ulu jaraknya sekitar 20 KM dan 112 KM dari ibu kota Kabupaten Muara Enim. Sumber mata pencaharian utama petani adalah menanam padi dan kopi.
Desa ini juga membuat peraturan adat, jika warga desa ketahuan mencuri dan merambah hutan, maka pelaku akan kena hukuman adat, yaitu dikucilkan dari semua kegiatan desa, begitu juga dari Kelompok Persatuan Keamanan Desa (PPKD), yaitu kelompok yang bergerak di bidang sosial. Salah satu tugasnya adalah menyelamatkan petani apabila terjadi musibah di hutan atau dalam kebun.
“Peraturan adat ini efektif, warga patuh menjaga hutan, mata air dan lingkungannya.”
Ketika Kohapa menyelesaikan tugasnya sebagai kepala desa, ia tetap menjadi mengawal kelompok Datuk Siring dan menjadi ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
“Tahun 2019 saya dipilih lagi menjadi kepala desa, dan desa kami tetap memprioritaskan menjaga sumber mata air,” katanya.
Atas berbagai keberhasilan, desa yang memiliki luasan sekitar 12 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 210 kepala keluarga itu pada tahun 2020, dianugerahi penghargaan sebagai Desa Terbaik Dalam Inovasi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim se-Indonesia.
Penghargaan ini Program Kampung Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono kepada Kepala Desa Pelakat, Kohapa.
“Kami mengikuti Program kampung iklim sejak 2015, agar memenuhi syarat kami juga harus melibatkan 10 dusun sekitar untuk peduli masalah lingkungan, kelestarian hutan, air, dan pertanian.”
Kohapa menegaskan penghargaan desa ini adalah berkat dari kerjasama masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM