“Mencintai lingkungan itu sangat asyik, mengangkat sampah itu asyik, menanam pohon itu asyik, menanam karang itu asyik, serta menjaga alam itu penting bagi manusia”
Kezia Arabele Tulalessy, 15 tahun mulanya seorang kutu buku. Ia jarang bergaul, kegiatannya lebih sering mengurung diri di kamar dan berkutat dengan tugas sekolah. Namun itu dulu, saat masih duduk di kelas VIII atau SMP kelas 2 Lentera Ambon. Tapi kini siswa kelas satu SMA di Yayasan yang sama, telah menjelma menjadi remaja yang patut di teladani karena kepeduliannya pada lingkungan.
Perubahan sikap Kezia itu berawal, saat menyaksikan kondisi lingkungan sekitar tempat tinggalnya mulai rusak. Pantai tempatnya dulu bermain, saat ini telah dipenuhi sampah. “Saya gelisah dan resah, melihat banyak sampah yang bertebaran di pantai Amahusu” ujarnya.
Ia juga menyaksikan banyak penebangan pohon secara liar di hutan sekitar desanya. Akibatnya terjadi longsor. Semua itu membuat hatinya tergerak untuk berbuat sesuatu. Bersama beberapa teman ia mulai memungut dan mengangkat sampah, di pantai dan laut tempatnnya biasa bermain.
Berlahan terbentuk komunitas peduli lingkungan yang diinisiasinya, dimulai dari anggota keluarga dan kolega. Kegiatan itu didukung sepenuhnya oleh kedua orang tuanya Nicko Tulalessy (43) dan Marie de Fretes (43). Kebetulan orang tuannya merupakan aktivis NGO. Ayahnya Ketua Ambon Sailing Community, yang mendukung kampanye pengembangan pariwisata, pendidikan dan perdamaian di Maluku. Ia biasa membuat promosi pariwisata dan mengorganisir kegiatan lomba layar tahunan Darwin-Ambon.
Sementara ibunya seorang psikolog yang juga aktivis NGO Internasional Mercy Children. Sebagai psikologi ibunya banyak mengarahkan Kezia untuk memiliki kegiatan selain sekolah. Selain kegiatan lingkungan dia juga mengarahkan Kezia pada kegiatan musik. Sehingga Kezia cukup menguasai music ukulele. Bersama komunitasnya ia membentuk grup musik yang mengkolaborasi musik dengan lingkungan, kelompoknya dinamai “Music of Green”.
Dari sana gerakan peduli lingkungan Kezia meluas ke masyarakat. Bersama rekan-rekannya pada 18 Agustus 2020, mereka membentuk “Komunitas Lebebae” atau “Lebih baik” yang terbentuk dari kegiatan bersih-bersih sampah di pantai dan laut. Lebebae berasal dari bahasa Ambon, yang artinya lebih baik khususnya lingkungan. Di Lebebae mereka dibina untuk mengubah karakter, dari kebiasaan membuang sampah sembarangan mulai membuang sampah pada tempatnya, yang awalnya kurang peduli menjadi peduli lingkungan.
Dari awalnya hanya belasan anak seusia. Lambat laun anggota komunitas bertambah mencapai seratusan anak. Mereka tertarik dengan apa yang dilakukan Kezia untuk mencintai lingkungan. Kezia mengkombinasikan alat musik tradisional dengan lingkungan. Bermusik sambil menyerukan peduli lingkungan.Juga mengkombinasikan olah raga menyelam dengan kegiatan lingkungan.
Awalnya komunitas Lebebae Kids Community fokus kegiatan membersihkan pantai, demi melihat laut teluk yang kotor karena sampah. Namun berjalannya waktu mereka mulai mendaur ulang sampah. Kemudian berlanjut dengan aksi sosial penanaman pohon dan kegiatan sosialisasi lingkungan.
Kegiatan membersihkan sampah di dasar laut dibarengi dengan hobi Kezia yang suka diving atau menyelam. “Ini kegiatan yang menyenangkan buat saya, diving sambil mengumpulkan sampah yang mengotori karang,” katanya.
Selain kegiatan membersihkan sampah Kezia juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang datang ke pantai untuk berlibur. Kezia berprinsip, melakukan sesuatu itu dengan ikhlas, bukan untuk mendapat sesuatu. “Mencintai lingkungan itu sangat asyik, mengangkat sampah itu asyik, menanam pohon itu asyik, menanam karang itu asyik, serta menjaga alam itu penting bagi manusia” jelasnya. Seperti halnya menanam pohon itu penting, karena manusia membutuhkan oksigen yang dihasilkan pohon.
Aktivitas lingkungan komunitas Lebebae yang terus intens, membuat komunitas ini makin dikenal orang. Mereka juga melakukan kampanye melalui media sosial sehingga mendapat simpati pegiat lingkungan luar negeri.
Dukungan tidak hanya dari Ambon, tetapi juga dari luar Indonesia. Seperti dari Australia dan Amerika, mereka menjalin kerjasama di bidang lingkungan. Sampai ada sebuah organisasi lingkungan di Australia menggalang dana untuk komunitas Lebebae. Dana terkumpul hingga 8 juta rupiah. Dana itu digunakan membeli baju komunitas, sarung tangan, dan lainnya untuk keperluan komunitas. Mereka memberikan dukungan karena aktivitas “Lebebae Comunnity”, dinilai memberikan dampak pada masyarakat sekitar terutama anak anak.
Dimata teman-temannya, Kezia merupakan leader yang baik bagi anak-anak komunitas. Mereka termotivasi apa yang dilakukan Kezia, yang lintas batas, tidak hanya di pantai atau laut, tapi juga di gunung. Hingga banyak yang mengundangnya untuk bicara tentang lingkungan. Ia pernah diundang bicara di Universitas Gajah Mada (UGM) dan bicara talk show Yayasan Sejiwa.
Caroline Patricia, Staf PPIKHL Wilayah Maluku Papua, mengapresiasi aksi kepedulian lingkungan yang dilakukan Kezia bersama teman-temannya di Lebebae Comunnity. “Jarang sekali anak-anak seusia Kezia dan komunitasnya melakukan aksi penghijauan maupun pembersihan sampah. Ini contoh generasi muda yang kita harapkan akan memiki kepedulian saat besar nanti.” ujarnya.
Menurut Caroline Komunitas Lebebae merupakan komunitas lingkungan yang sangat aktif. “Hampir setiap bulan komunitas ini mendatangi kantor kami untuk bekerja sama melakukan penghijauan,” katanya. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM