Startup Gonigoni tawarkan skema atasi persoalan sampah anorganik dan organik agar tak hanya di buang ke TPA. Mereka mengubah sampah menjadi barang yang bermanfaat, dan menyusun skema nabung emas dengan sampah.
Terinspirasi oleh pemulung yang kerap terlihat membawa karung goni untuk mengumpulkan sampah. Sekelompok anak muda terinspirasi membentuk startup Gonigoni untuk mengatasi persoalan sampah di Bandung. “Iya inspirasinya dari sana,” ujar Firza Maulana Nasution, 21 tahun, pendiri startup Gonigoni.id.
Gonigoni, adalah startup yang bergerak di industri hijau khususnya pengolahan sampah anorganik dan organik. Keberadaannya menjadi penghubung antara bank sampah dengan rumah tangga yang ingin menjual sampahnya.
Kegiatan mengolah sampah telah dilakukan Firza sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia telah bergelut dengan persampahan, bahkan rajin melakukan riset terkait sampah. Riset kecil yang pernah lakukan pemuda asal Medan ini tentang pemanfaatan sampah puntung rokok menjadi bahan bakar.
“Dari awal emang udah tertarik menangani sampah. Bahkan dari SMA saya sudah mulai riset pemanfaatan sampah puntung rokok dan limbah coklat,” ujar Firza, Jumat, 25 Juni 2021 lalu.
Menurutnya, permasalahan sampah adalah permasalah yang cenderung usang, dimana pangkal masalahnya selalu soal sampah hanya dibuang, tanpa dipilah terlebih dahulu. Hampir di semua tempat, sampah selalu berujung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa terpilah. “Efeknya, beragam masalah pun hadir gara-gara hal itu,” tuturnya. Sehingga perlu mekanisme lain untuk mengatasi persoalan sampah tidak hanya dengan pembuangan ke TPA, untuk itu visi Gonigoni hadir.
Saat Firza melanjutkan sekolahnya di Universitas Telkom, Bandung, pada 2017. Ketertarikannya terhadap sampah tetap berlanjut. Ia awalnya aktif di bank sampah milik Universitas Telkom. Namun, Firza melihat kegiatan dan aktivitas bank sampah di sana terasa jalan di tempat.
“Permasalahannya harga sampahnya berubah-ubah, di sisi lain susah menjual ke pabrik karena skala bank sampah masih kecil,” ujar lulusan D3 Sistem Informasi Universitas Telkom itu.
Alhasil, pada 2019, Firza mengajak 5 orang temannya untuk memulai usaha rintisan pengelolaan sampah. Terbentuklah startup bernama Gonigoni diperuntukan untuk mengepul sampah via aplikasi melalui ponsel pintar dan mulai beroperasi pertengahan Agustus tahun itu.
Awalnya mereka tidak langsung membuat sebuah aplikasi, tetapi memanfaatkan teknologi sederhana. Ia membuat sebuah grup di aplikasi perpesanan WhatsApp. Lalu setiap anggota grup itu diberi pengarahan agar tidak membuang sampah sembarangan, dan mulai mengumpulkan sampah anorganik. Kemudian tim Gonigoni akan menjemputnya dua kali sepekan.
Melalui aplikasi itu, ternyata sistem pengelolaan sampah lebih terintegrasi dan tiap nasabah bisa memantau hasi tabungan sampahnya di Gonigoni. Nasabah pun bisa menukar poin yang telah didapat dari transaksi sampah dengan bermacam-macam kebutuhan sehari-hari.
“Kita pakai sistem refill, jadi misalkan poin itu bisa ditukar dengan kebutuhan sehari–hari, seperti sabun cuci dan sebagainya. Bahkan rencana kedepan kita ingin kembangkan skema tabung emas pakai sampah,” ujar Firza.
Tak hanya mengandalkan sistem digital, Gonigoni pun mulai mengembangkan sistem rekayasa sosial untuk pengolahan sampah. Menurut dia, ada semacam sistem yang dibangun Gonigoni untuk menarik minat masyarakat terhadap pemanfaatan sampah. “Intinya kita bangun pemahaman masyarakat bahwa banyak manfaat dari sampah, makanya jangan asal buang,” katanya.
Untuk itu Firza bersama lima orang temannya, menyusun sistem yang lebih modern dalam pengelolaan sampah. Sistem itu, difungsikan sebagai stimulus agar masyarakat lebih terdorong memilah sampah. “Setiap nasabah kita kasih edukasi dalam pemilahan, terus kita bikin semacam penghargaan buat nasabah,” ucapnya.
Namun, karena pandemi Covid-19, ia mengaku startup rintisannya agak tersendat. Ia sempat vakum dari aktivitas edukasi dengan nasabah. Adanya kebijakan pembatasan sosial membuat ruang gerak tim Gonigoni jadi sempit. Akhirnya, pada 2020, usahanya terpaksa tiarap dahulu.
“Nasabah juga awalnya banyak, kini tinggal 250 orang, tapi nanti kita akan rangkul lagi nasabah lama dan mudah-mudahan kedepan bisa semakin lancar,” katanya. “Kita mulai lagi pada Februari 2021 lalu. Perangkat penunjang seperti aplikasi kita perbaharui lagi, dan rencana akan efektif pada akhir Juli 2021, ini,”
Terkini, Gonigoni mampu menyerap sampah anorganik sebanyak 4 hingga 5 ton per bulan. Mereka memproses sampah anorganik di gudang seluas dua kali lapangan futsal, di daerah Cileunyi, Kabupaten Bandung.”Target kedepan 80 persen sampah di Bandung bisa kita serap,” kata dia
Dalam pengelolaan sampah Gonigoni memilah aneka sampah anorganik menjadi beberapa jenis, lantas dihancurkan menggunakan mesin pencacah sampah. “Kalau plastik, kita pilah sesuai warna,” katanya.
Firza pun kini mulai mengembangkan pengolahan sampah organik. Ia tengah membuat gudang yang difungsikan sebagai tempat budidaya larva dari serangga black soldier fly (BSF). “Sampah organik yang salah ditangani dan hanya berakhir di TPA, memang menjadi penyumbang terbesar kerusakan iklim,” tuturnya.
Dengan pemanfaatan sampah organik sebagai pakan larva, maka sedikit banyak akan mengurangi emisi gas buang yang bisa merusak lapisan ozon. “Kita masih sedikit sih untuk pemanfaatan sampah organik, paling di kisaran 1 kwintal per bulan, karena kan masih baru mulai. Tapi kedepan insya Allah kita bisa menyerap banyak sampah organik, itu target kita juga,” katanya.
Peran Gonigoni dalam mengatasi persoalan sampah membawanya menerima sejumlah penghargaan. Di antaranya, terpilih menjadi 150 startup terbaik di acara Thinkubator Startup Competition yang diadakan Grab dan Trans Corp di Jakarta pada 2019, lalu. Teranyar, Firza sukses terpilih sebagai tim komersial terbaik dan perencanaan finansial terbaik di acara Youth preuneur in Action Podomoro University dan Babson Global, pada 2021. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM