Rendria memilih mengembangkan budidaya lalat maggot dari pada bisnis property, karena alasan lebih berdampak bagi perbaikan lingkungan. Dengan budidaya maggot mereka dapat menyerap sampah organik sebagai pakan lalat.
Rendria Labde, 29 tahun, memutuskan untuk mengakhiri bisnisnya di bidang property, setelah menyadari usaha itu tak cukup memberi dampak pada lingkungan. Padahal bisnis property yang ia jalani bersama rekannya Arunee Sarasetsiri telah mengedepankan konsep rumah yang ramah lingkungan, baik aspek desain, penggunaan material ramah lingkungan, dan konsep rumah yang cocok untuk budidaya permaculture.
Namun semua itu masih belum memuaskan harapan mereka tentang menciptakan bisnis yang memiliki dampak pada perbaikan lingkungan. Hingga akhirnya proyek bernama Sandar Andara itu terpaksa harus diakhiri. Mereka justru beralih menekuni bisnis pengembangbiakan larva Black Soldier Fly (BSF) atau yang lebih dikenal dengan magot.
“Dilema ya pekerjaan kita waktu itu tidak memberikan impact sesuai yang kita mau. Ya bahwa membuat rumah-rumah sustainable, walaupun menarik tapi impact-nya kecil jadi nggak scalable. Artinya kita bikin 1.000 rumah jual ke 1.000 keluarga gitu ya impact-nya cuma ke seribu keluarga itu,” ujarnya.
Sejak saat itu di sela kesibukannya mengembangkan bisnis property, Rendria bersama rekannya mulai melakukan riset ihwal bisnis apa yang cocok dikembangkan dan bisa memberikan imbas besar terhadap masalah perubahan iklim dan lingkungan.
Mereka sempat melakukan perjalanan ke tempat pembuangan akhir sampah, Bantar gebang, Bekasi. Disana Rendria tertegun melihat gunungan sampah yang memenuhi TPA Bantar gebang. Rendria tersadar perlu ada gebrakan taktis guna membantu mengatasi masalah sampah khususnya sampah organik yang menurut hitungannya mencapai 60 persen dari keseluruhan produksi sampah.
Dari sana sarjana lulusan Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI) itu terinspirasi untuk mengembangkan budidaya larva BSF. Serangga jenis ini, kata dia, paling efektif dalam mengurai sampah organik. Selain itu, dari sisi bisnis, larva BSF dinilai cukup menjanjikan lantaran memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. “Pertama sih oh udah nih kompos aja, tapi kompos gak feasible ya secara bisnis,” ucapnya.
Pengetahuan terkait larva BSF mulai digenggam Rendria. Ia mulai paham peruntukan larva ini ternyata bisa diaplikasikan sebagai pakan ternak lantaran kandungan protein yang tinggi.
Namun, perjalanan riset yang diinisiasi Rendria tidak semulus yang dibayangkan. Ia ratusan kali gagal mengembangbiakan larva BSF. Menurut dia, serangga itu ternyata cukup rewel dan butuh perlakuan khusus agar mau berkembangbiak.
“Belum lagi iklim yang berubah-ubah, karena larva itu sifatnya seperti ini, eh ternyata salah. Itu setelah ratusan kali kita nebak salah tentang larva. Larva ini sensitif, namanya juga makhluk hidup,” katanya.
Medio 2017, akhirnya Rendria memutuskan untuk membuat startup yang khusus memproduksi larva BSF bernama Magalarva. Melalui Magalarva ia mengklaim mampu menangani sampah organik hingga 6 ton dalam sehari.
Sampah organik yang dijadikan pakan dari larva BSF itu didapat Rendria dari limbah beberapa perusahaan pangan di tanah air. Di antaranya, dari perusahaan–perusahaan meneken kontrak dengan Magalarva, seperti PT Indolakto untuk limbah produksi olahan susu.
Selain itu, Rendria juga memanfaatkan sampah organik dari warga sekitar Gunung sindur, Bogor, Jawa Barat. Baru-baru ini, Magalarva tengah melakukan negosiasi dengan PT Paragon yang membidani produk kosmetik Wardah. Magalarva rencananya bakal menyerap limbah organik PT Paragon, yang kemudian dijadikan pakan larva BSF.
“Kita tuh ada kerjasama sama perusahaan-perusahaan besar kayak Indolakto Indomilk itu salah satu klien kita. Dimana mereka punya sampah organik, terus hotel-hotel juga ada beberapa, dari daerah sekitar juga banyak yang kita ambil,” katanya.
Lokasi budidaya larva itu berdiri di atas lahan seluas 4 ribu meter persegi. Di lahan seluas itu, Magalarva mampu memproduksi larva sebanyak 40 ton per bulan. Komoditas larva itu selanjutnya diolah menjadi berbagai produk siap jual, semisal varian larva segar, larva kering, larva bubuk, hingga minyak dari larva BSF.
Peruntukan larva BSF ini, memang sangat cocok dijadikan pakan ternak semisal aneka jenis ikan, udang, hingga unggas. Selain itu, produk Magalarva pun bisa dijadikan pakan hewan peliharaan semisal kucing juga anjing.
“Sebenarnya untuk magot itu kalau dibilang dia bisa buat apa aja. Bisa buat semua hewan kecuali yang herbivora, itupun sedang diteliti bisa atau nggak, karena serangga itu kadang-kadang nggak bisa dibilang untuk pakan hewan carnivora saja,” katanya.
Menurut Rendria, berdasarkan hasil riset sementara, magot ini sangat cocok dijadikan pakan berbagai jenis ikan konsumsi ataupun hias juga pakan udang. “Efek terbaiknya buat siapa itu lah yang sedang kita jalankan, bahwa yang terbaik sekarang itu untuk udang, dan perikanan. Tapi kita ada juga jual ke ayam, bebek,” ujar dia.
Magalarva sendiri kini tengah fokus untuk menggarap pasar pakan ikan konsumsi dan ikan hias seperti koi. Selain itu, urusan marketing, Magalarva tetap konsisten menjalankan ekspor produk Magalarva menuju beberapa negara seperti Jepang, Singapura hingga Turki.
“Kalau ekspor kita lagi ekspor ke Jepang, itu produsen pakan disana sudah mempercayakan kita dengan salah satu produknya. Terus di lokal dipakai untuk burung juga perikanan salah satu top ten produsen pakan di Indonesia sudah jadi repetitif buyer kita,” katanya.
Inovasi terus dilakukan Rendria. Inovasi yang sedang digarap Magalarva, diantaranya mengembangkan varian produk olahan larva BSF. Ia bertekad dalam waktu dekat akan membuat semacam makanan ringan yang bisa dikonsumsi oleh manusia tapi berbahan dasar larva BSF.
Ide itu, sangat dimungkinkan terwujud mengingat kadar nutrisi yang bagus pada larva BSF. Namun, pekerjaan berat menanti dimana kemungkinan konsumen masih belum terbiasa untuk mengkonsumsi larva sebagai makanan ataupun camilan. “Kita lagi mikir-mikir untuk bikin snack dari serangga, karena proteinnya tinggi juga sebenarnya rasanya enak,” ujar dia.
Apalagi, melihat budaya di sebagian wilayah Indonesia, yang masyarakat terbiasa memakan serangga seperti belalang, laron, hingga jangkrik. Indikator itu bisa dijadikan landasan dasar bagi perkembangan awal larva BSF untuk dikonsumsi langsung.
“Sebagai contoh, banyak banget restoran di Bali itu menyediakan (makanan berbahan dasar) cacing gitu-gitu itu udah banyak. Memang serangga itu hewan yang paling efisien dalam produksinya terkait lahan, air, dan energi-energi lainnya,” ujarnya.
Larva BSF pun dinilai mampu menggantikan peran ikan dalam memberikan banyak protein bagi tubuh. Apalagi masalah eksploitasi ikan di laut ini sudah cukup memprihatinkan. Hal itu dianggap memberikan dampak besar bagi perubahan iklim lantaran lautan menjadi tercemar akibat eksploitasi laut. Rendria menilai perlu ada substitusi kebutuhan konsumsi ikan, salah satunya bisa melalui pemanfaatan larva BSF.
Rendria mengatakan startup yang dirintisnya memang memiliki dua tujuan utama. Pertama, selain mampu menyerap sampah organik, budidaya larva BSF pun di kemudian hari bisa menjadi alternatif pangan pengganti ikan laut.
“Jika kita bisa menggantikan protein dari laut, dengan ternak larva ini, eksploitasi di laut bisa dikurangi. Pertama kita bisa saving the ocean lah basically, memperpanjang umur laut, dan yang kedua mengatasi masalah sampah organik,” ujar dia.
Atas upaya dan jerih payahnya Rendria telah menyabet berbagai penghargaan. Aktivitasnya dalam mengembangkan industri hijau sektor produksi larva BSF. Berhasil membawanya menjadi tiga besar penghargaan Systemiq Global pada 2017. Systemic diluncurkan pada 2016 dengan tujuan untuk mempercepat tujuan global dari PBB dan Paris Agreement tentang isu perubahan iklim. Terbaru, Rendria juga masuk dalam daftar Forbes 30 Under 30 Asia pada Maret 2021, untuk sektor industri manufaktur dan energi. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM