“Perubahan itu berawal dari self awareness. Ketika kita menyadari yang kita lakukan itu ada impact-nya, kita mungkin akan sadar. Begitu kita merusak lingkungan, akan ada dampak ekonomi yang harus kita bayar.”
Farwiza Farhan, namanya sempat menjadi perbincangan media sosial, saat fotonya tiba-tiba muncul bersama aktor Hollywood Leonardo DiCaprio yang tengah berpose bersama sepasang gajah Sumatera. Foto itu diunggah di laman Istagram pribadi Leonardo, menandai kenangannya saat berkunjung ke Taman Nasional Leuser, Aceh.
Dalam status di samping foto itu, Leonardo menulis, “#Hutan hujan dataran rendah di Ekosistem Leuser dianggap sebagai habitat terbaik yang tersisa di dunia untuk #gajah Sumatera yang terancam punah. Di hutan-hutan ini, jalur migrasi gajah purba masih digunakan oleh beberapa #kawanan gajah sumatera terakhir. Namun perluasan perkebunan Kelapa Sawit memecah #hutan dan memotong koridor utama migrasi gajah, sehingga semakin sulit bagi keluarga gajah menemukan sumber makanan dan air,” tulisnya.
Farwiza yang akrab disapa Wiza ini sejatinya cukup tersohor di kalangan pegiat lingkungan Aceh. Sejak 2012 ia telah mendirikan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), yang focus melindungi alam dan kawasan ekosistem Leuser.
Perempuan kelahiran 1 Mei 1986 itu telah menggerakkan masyarakat Aceh melalui GERAM (Gerakan Rakyat Aceh Menggugat) yang mengajukan gugatan kepada Kementerian Dalam Negeri atas pengesahan Qanun No. 19 Tahun 2013, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh 2013 – 2033.
Mereka memprotes Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh baru yang tidak memasukan Kawasan Ekosistem Leuser ke dalam Kawasan Strategis Nasional. “Itu peraturan memiliki potensi kebencanaan yang besar,” katanya.
Perubahan aturan itu dinilai mengancam ekosistem Leuser yang menjadi rumah bagi gajah Sumatera, orang utan, harimau dan badak. Perubahan itu juga mengancam keberlangsungan ekosistem Leuser yang luasnya mencapai 2,6 juta hektar membentang dari propinsi Aceh hingga Sumatera Utara.
Aturan tersebut juga membuka ruang perambahan oleh perusahaan sawit dan korporasi tambang berskala besar. Gugatan tersebut membuat Wiza harus mondar-mandir ke pengadilan. Namun sayang pengadilan pada November 2016 memutuskan menolak gugatan Wiza dan teman-teman dengan alasan para penggugat tidak mengalami kerugian atas perubahan Qanun tersebut.
Pergulatannya dengan alam adalah panggilan jiwa. Farwiza yang semula lebih banyak melalang keluar Aceh, di antaranya, Sekolah menengah di Boarding School Bogor, pendidikan sarjana di University Sains Malaysia Jurusan Biologi Kelautan, dilanjutkan mengambil Jurusan Manajemen Lingkungan di University of Queensland dan sempat bekerja di Australia. Kini ia memantapkan dirinya pulang ke Aceh dan mengabdi pada lingkungan kampung halamannya. “Setiap melintas di atas Aceh, saya tertegun melihat bentang alam Leuser. Pemandangan hijau dan berlapis-lapis pegunungan, selalu mengingatkan kenangan masa kecil saya, bermain dan mandi di sungai-sungai pinggir hutan,” ujarnya.
Padahal jika diukur dari kenyamanan hidup, Farwiza telah nyaman tinggal dan kerja di Melbourne, Australia. Sebagai periset lingkungan Global CCS Institute, gajinya cukup memadai. Namun kenangan keindahan pantai Weh, Aceh di masa kecil mendorongnya untuk kembali ke Banda Aceh.
Ketika datang tawaran untuk bergabung dengan tim riset Badan Pengelola Kawasan ekosistem Leuser, ia pun langsung mengiyakan. Memilih meninggalkan kenyamanan itu, karena melihat ancaman kerusakan ekosistem Leuser. “Saat itu Februari 2011, dan saya melihat perubahan yang terjadi di kawasan itu. Ini jauh berbeda dengan kondisi terakhir saya mengunjunginya pada awal 2000,” ujarnya.
Sayangnya kebersamaan dengan Badan Pengelolaan Leuser tak lama hanya sekitar 1,5 tahun, karena pemerintah Aceh akhirnya membubarkan lembaga tersebut. Meski tak lagi bersama Badan Pengelola, tak membuatnya berhenti mengabdi pada lingkungan. Dari sanalah Wiza kemudian membentuk HaKa, yang focus mendorong peran serta masyarakat Aceh meningkatkan fungsi lingkungan hidup untuk ekosistem sekitarnya. Visinya menciptakan Aceh yang kuat , sehat dari segi sosial, financial dan lingkungan.
Kegiatannya antara lain melakukan konservasi dan advokasi lingkungan. Seperti mendorong para perempuan di Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh untuk memperoleh izin pengelolaan hutan desa seluas 251 hektare ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2019. Hutan di sana telah rusak akibat pembalakan liar dan sempat mengakibatkan banjir pada 2015. Mereka minta lahan itu dikelola masyarakat. HaKa tampil sebagai pembina ibu-ibu di sana untuk menanam dan melindungi hutan.
Mereka juga mengajari warga mendata apa saja isi hutan, tanaman dan habitat yang ada. Bahkan Wiza yang merupakan kandidat PhD Candidate di Fakultas Antropologi Budaya dan Studi Pembangunan di Radboud University Nijmegen, Belanda ini bersama teman-temannya membentuk Ranger Mpu Euten atau penjaga hutan beranggotakan perempuan. Sebagai salah satu cara mempertahankan tutupan hutan kawasan Leuser yang terus menyusut.
Sebagai penjaga hutan Leuser, Wiza juga banyak berperan saat berlangsung penyelidikan pembakaran lahan. Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan banyak melaporkan perusahaan perusak hutan, Wiza pun harus mondar-mandir ke pengadilan menjadi saksi. Bahkan pun tak luput menjadi sasaran teror orang-orang perusahaan pembakar hutan. Rumahnya sempat didatangi, diminta memilih menghentikan kesaksiannya dengan iming-iming uang. Meski sempat ciut namun ia bertekad untuk terus maju.
Konsistensinya melindungi alam, Wiza diganjar banyak penghargaan. Diantaranya penghargaan Whitley Awards alias Green Oscar untuk kategori Konservasi Habitat Orang Utan, dari Whitley Fund for Nature (WFN) pada 2016, dan berhak atas dana 35.000 poundsterling atau sekitar 520 juta rupiah yang digunakan untuk membiayai konservasi Leuser.
Kecintaan Wiza pada lingkungan tidak hanya ditunjukkan untuk mendorong orang lain, tetapi juga mendorong diri sendiri berlaku cinta lingkungan dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti membatasi menggunakan tisu atau barang dari plastik. “Perubahan itu berawal dari self awareness. Ketika kita menyadari yang kita lakukan itu ada impact-nya, kita mungkin akan sadar. Begitu kita merusak lingkungan, akan ada dampak ekonomi yang harus kita bayar. Self awareness itu penting. Mendidik diri sendiri itu penting.” (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM