Hutan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatannya dapat meniru kearifan lokal yang turun temurun. Dimana mereka memanfaatkan hutan tanpa harus merusak nilai ekologinya.
Christine Wulandari, 57 tahun, sudah seperti dokter bagi para petani perhutanan sosial di Lampung Barat. Bahkan telepon genggamnya seperti tak dapat dimatikan sesuka hati, sebab hampir setiap hari ada saja petani yang menghubunginya untuk berkonsultasi tentang permasalahan pertanian dan hutan.
Ia juga sudah seperti ibu bagi para petani yang setiap saat bersedia menerima curhat (curahan hati) para petani tentang segala urusan pertanian dan konflik di lapangan. “Ada saja ceritanya, dari prosedur administrasi dalam kelompok hingga masalah tanaman maupun konflik di lapangan,” kata Dosen Kehutanan di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung itu.
Setidaknya ada 50 kelompok tani dibawah binaannya. Dimana silih berganti menghubunginya untuk berkonsultasi dan berbagi cerita tentang masalah kehutanan, kepada perempuan kelahiran Madiun, 26 Desember 1964 tersebut.
Salah satu kelompok yang rutin berkomunikasi itu adalah Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati, dari Desa Tri Budi Sukur, Kebun Tebu, Lampung Barat. Kelompok ini didirikan pada 8 Oktober 1993. Terbentuknya Kelompok Wanita Tani ini berawal dari kegiatan arisan kerja berupa mutil kopi, tanam padi atau kegiatan seperti, simpan pinjam, hingga majelis taklim. Kemudian dari kegiatan tersebut didirikanlah KWT Melati dengan penambahan kegiatan pengolahan hasil hutan, rapat anggota, pemasaran dan pembagian sisa hasil usaha yang waktu itu dihadiri dan didampingi oleh mahasiswa Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Universitas Lampung.
Kelompok ini pun semakin berkembang, bahkan tahun 2011 memperoleh juara 2 lomba ketahanan pangan tingkat Provinsi Lampung. Tahun 2014 memperoleh juara 1 lomba Kewirausahaan Sosial Masyarakat Komunitas kelas Madya Tingkat Nasional Program AGFBC-CEC, juga memperoleh juara 2 lomba ketahanan pangan tingkat Provinsi Lampung. Tahun 2015 memperoleh juara 1 lomba Kalpataru tingkat Provinsi Lampung dan sejumlah prestasi lainnya.
“Rata-rata karena kegiatan mahasiswalah komunikasi itu berjalan, hingga akhirnya kini kami bersahabat dan terus berbagi informasi bagaimana mengelola pekarangan dan hutan secara berkelanjutan,” tutur Christine.
Dari sanalah hubungan Christine dengan para petani itu tertaut. Christine yang menjadi pembimbing mahasiswa, kerap bertemu dengan para petani dan menjadi konsultan mereka dalam urusan pertanian. Kebiasaan itu berlanjut hingga saat ini, meski ia secara informal.
Bahkan kini memasuki 28 tahun pengabdiannya di kampus sebagai pengajar, Christine semakin rutin membimbing mahasiswa untuk penelitian di kelompok-kelompok petani di sejumlah tempat.
“Tujuannya sederhana, supaya kampus dan masyarakat bisa saling belajar bagaimana mengembangkan pengelolaan pertanian dan hutan di sekitarnya tanpa harus merusak nilai ekologis sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakatnya.”
Baginya pengelolaan hutan harus dengan cara berkelanjutan, sebab hutan adalah sumber kehidupan. Artinya pengelolaan hutan tidak boleh serampangan, mengambil hasil hutan tidak boleh secara merusak hutan itu sendiri.
“Hutan negara kita luas sekali, komunikasi dan kolaborasi antara kampus dan masyarakat harus terus berjalan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat juga harus dilakukan secara berkelanjutan untuk memaksimalkan potensi sosial, ekonomi, dan ekologi, sekaligus menjaga kelestariannya.”
Christine merupakan Ketua Program Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung sejak 2013. Sejak 2013-2020, ia telah merampungkan sedikitnya 26 penelitian, 42 artikel ilmiah yang terbit di jurnal nasional dan internasional, serta 10 buku tentang manajemen sumber daya hutan. Pada tanggal 22 september 2021, Christine akan dikukuhkan sebagai salah satu dari 15 Guru Besar Universitas Lampung dalam bidang Ilmu Manajemen Hutan.
Menurut Christine, kearifan masyarakat lokal adalah pelajaran yang harus digali dan disadari oleh setiap pemangku kebijakan dalam pengelolaan hutan.
“Hutan itu harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, tanpa harus merusak nilai ekologinya,” terangnya.
Baginya modernitas saat ini harus beriringan dengan budaya lokal yang arif. Sesungguhnya kecintaan Christine pada alam sudah tumbuh sejak kecil. Bermula dari keikutsertaannya dalam kegiatan pramuka.
“Di Pramuka-lah pertama saya kerap bersentuhan dengan masyarakat dan alam.”
Kegiatan yang berinteraksi dengan alam seperti berkemah dan outbound membuatnya makin tertarik dengan alam dan mendalami ilmu lingkungan. Kecintaan itu terus ia dalami dalam keikutsertaannya menjadi anggota Board Jaringan Pendidikan Agroforestri Indonesia (INAFE) dan South East Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE) yang berbasis di Filipina.
Saat ini ia juga menjadi salah satu Wakil Ketua di Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI) dan Dewan Penasehat Komunitas Manajemen Hutan Indonesia (Komhindo). Ia juga menjadi anggota Asia-Facific Focal Point of Civil Society Advisory Group (CSAG) – ITTO yang berbasis di Yokohama, Jepang dan aktif mengikuti pelatihan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan di dalam dan luar negeri. Bahkan ia mengantongi sertifikasi pelatihan hutan di Guatemala dan Swedia, Manajemen hutan berkelanjutan di India, pengelolaan jasa lingkungan karbon bersama masyarakat di Nepal dan pengelolaan sumber air di Sydney, Australia.
Kiprahnya untuk lingkungan hidup juga ditandai dengan terpilihnya Christine sebagai Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia.
Namun Doktor Manajemen Sumber Daya Hutan dari University of the Philippines Los Banos [UPLB] selalu rendah hati tentang seabreg gelar akademiknya itu. Dia justru berkeyakinan bahwa puncak seorang akademisi adalah ketika pengabdian kepada masyarakat dan penelitian yang dilakukan dapat diterima oleh rekan seprofesi dan juga publik. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM