Lasma memilih mengabdikan diri menjadi advokat publik untuk membela warga Indramayu dan Cirebon yang kehilangan hak atas lingkungan bersih. Warga disana terdampak oleh udara udara akibat pengoperasian PLTU Batubara di sekitar lingkungan mereka.
Cita-cita awalnya ingin menjadi seorang hakim. Tapi Lasma Natalia Hillo Panjaitan, 30 tahun justru keasyikan menjadi advokat publik dan membela warga yang memiliki masalah sosial. Hingga saat ini Lasma masih getol mengadvokasi warga Cirebon dan Indramayu yang terdampak proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayahnya.
Berprofesi menjadi advokat publik, memang bukanlah cita-cita awal Lasma, semula ia ingin berkarir sebagai hakim setelah lulus sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Namun cita–citanya justru berbelok menjadi advokat publik,setelah magang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung.
Padahal ia mengaku selama menjadi mahasiswa bukanlah aktivis yang kerap menyuarakan pandangan kritis dan turun ke jalan dan demonstrasi. “Cuma saya memang fokus mengikuti isu-isu sosial,” ujar Lasma ditemui, Kamis, 12 Agustus 2021.
Awalnya tahun 2013, saat menunggu kelulusan, Lasma iseng-iseng membaca buku tentang LBH. Rupanya, hasil bacaannya itu, membuat Lasma kepincut untuk magang di LBH Bandung. “Saya pikir ya udah karena (lowongan pekerjaan) hakim belum buka, coba aja dulu masuk LBH. Waktu itu udah sidang cuma belum wisuda, masuklah saya ke LBH Bandung,” katanya.
Kebanyakan teman-temannya, sesama mahasiswa Ilmu Hukum, menjalani karir di perusahaan besar seperti perusahaan perbankan. Namun, Lasma sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di sektor itu dan lebih memilih untuk berprofesi sebagai advokat publik yang berkaitan erat dengan isu-isu sosial termasuk juga masalah lingkungan.
“Jadi mungkin yang bikin saya dekat dengan advokat lingkungan itu ya karena saya dari awal suka isu-isu sosial, mungkin keterkaitannya di situ,” ucapnya.
Menjalani karir di LBH Bandung tidak serta merta didukung oleh orang tuanya. Beberapa kali Lasma sempat diminta keluar oleh sang ibu. Namun, tekad Lasma sudah bulat untuk menjadi advokat publik.
Orang tuanya tak menginginkan ia berkarir di LBH, karena mereka melihat Lasma bukanlah mahasiswa yang biasa, tetapi mahasiswa berprestasi dengan IPK cukup tinggi dan tergolong pintar. “Jadi orang tua pikir, ngapain masuk LBH, kan bisa cari pekerjaan yang lebih mapan. Minimal menjadi PNS atau pegawai BUMN, yang lebih menjanjikan secara finansial,” tambah Lasma.
Namun, Lasma yang kini menjabat Direktur LBH Bandung itu tetap memilih berkarir di LBH dan lebih tertarik untuk melakukan kegiatan advokasi. “Akhirnya keluarga mendukung, terutama ibu mungkin lihat, oh ternyata anak ini bisa juga ya (berkarir sebagai advokat publik),” ujarnya.
Sejak 2015, LBH Bandung bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat fokus mengadvokasi warga terdampak PLTU Indramayu II di Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu. Advokasi yang dilakukan LBH Bandung lebih kepada penguatan pendidikan hukum bagi warga terdampak. “Saya mulai sangat aktif itu 2016,” ujar dia.
Pertama kali datang ke Desa Mekarsari, Indramayu, Lasma mengaku prihatin dengan nasib warga di sana lantaran terpaksa harus bertahan hidup di tengah kepungan debu dampak negatif dari pembangunan PLTU berkapasitas 2×1.000 megawatt di sana.
Dedaunan di sepanjang wilayah desa Mekarsari tak lagi hijau. Begitupun tanah berkelir kusam lantaran berselimut debu. Hal itu, menjadi pemandangan tak sedap yang dilihat Lasma saat berkunjung ke sana. “Panas iya, berdebu iya,” tuturnya.
Menurut Lasma, ia saja yang hanya beberapa hari tinggal di sana merasa tidak nyaman, bagaimana dengan nasib warga yang sehari-hari tinggal di sana. “Secara logika, tidak hanya lingkungan, paru-paru warga juga kena udara udah gak bersih,”. tambahnya.
Berbekal pengalamannya mengadvokasi kasus lingkungan dan agraria di beberapa daerah, ia mendampingi warga Mekarsari yang memprotes pembangunan PLTU Indramayu II itu. Lasma mulai mengumpulkan informasi, berapa kira-kira kerugian yang diderita warga Mekarsari. Lebih jauh, Lasma guyub dengan masyarakat di sana untuk mengetahui penyebab kerugian yang dialami warga. “Masyarakat harus paham itu dulu,” katanya.
Saat masyarakat telah paham dengan kerugian yang dialami, mereka justru bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Selanjutnya Lasma, mengadvokasi warga itu agar mereka mengerti jalur apa yang bisa ditempuh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. “Jadi gak langsung main gugat,”
“Setelah masyarakat tahu mereka terdampak, terus masyarakat juga tidak paham, apakah punya hak untuk complain, caranya gimana ? itu kan masalah pendidikan hukum,” ujarnya.
Setelah warga paham akan hak-hak mereka. Lasma kemudian mendampingi mereka untuk menyuarakan hak-hak mereka sampai ke meja hijau. Lasma mendampingi warga menggugat penggunaan lahan untuk proyek tersebut ke Pengadilan Negeri Indramayu.
Gugatan itu awalnya kandas, tapi perjuangan warga tak ikut padam. Lasma beserta kolega mengumpulkan berkas perizinan lingkungan juga analisis dampak lingkungan (Amdal) proyek. Lasma dan warga pun menemukan kesalahan prosedural dalam menerbitkan Amdal. Alhasil Lasma dan warga menggunakan nama Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu) menggugat Amdal itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung.
Pada Desember 2017, majelis hakim menyatakan pembangunan PLTU Indramayu II itu cacat prosedur dan substansi. Hakim menyebut terjadi kesalahan penerbitan izin lingkungan lantaran tidak didahului surat keputusan kelayakan lingkungan hidup dan tanpa melibatkan partisipasi warga. Belakangan PTUN Bandung menerima banding yang dilayangkan PT PLN (Persero) pada April 2018.
Nasib serupa dialami warga Desa Kanci Kulon, Cirebon. Disana merupakan lokasi pembangunan proyek PLTU Cirebon II. Lasma dan warga disana menuntut pembatalan pembangunan proyek itu. Namun gugatan itu juga kandas.
Meski begitu, api perjuangan Lasma bersama warga terdampak tak padam. Lasma bersama Walhi masih rutin melakukan pendampingan dan mengadvokasi warga di Cirebon dan Indramayu, pendidikan hukum juga masih berjalan. “Apakah ada strategi lain yang sedang dilaksanakan, ya ada tapi saya gak bisa buka. cuma pendampingan di lapangan masih dilakukan,” ujarnya.
Lasma bersama jaringan organisasi lingkungan dan masyarakat siap melakukan pengawalan terkait hak uji materi (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi.
“Problemnya ada di kebijakan, makanya kita advokasi kebijakannya,” ungkap Magister Hukum lulusan Universitas Padjadjaran itu. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM