“Kalau kami lihat, Smash berpeluang menjadi satu jembatan, efeknya tidak langsung tapi dengan data kami, hasilnya bisa lebih akurat, misalkan dalam menyerap emisi karbon dan yang lainnya,”
Terinspirasi buruknya kondisi sungai di dekat kampus Universitas Telkom, di Bojongsoang, Kabupaten Bandung yang dipenuhi sampah dan aroma bacin, mendorong Putra Fajar Alam, 31 tahun merancang aplikasi dan startup pengolahan sampah.
“Sungainya penuh sampah dan aromanya menyengat dan mengganggu kami yang melintas setiap hari di sana, itu kejadiannya pada 2014, lalu,” ujar Putra mengawali ceritanya pada Pejuangiklim.id, Kamis, 12 Agustus 2021.
Bak pepatah, dibalik pengalaman buruk, selalu ada hikmah yang bisa diambil. Pasalnya, pengalaman itu menjadi semacam trigger bagi Putra membangun startup di sektor industri hijau khususnya dalam digitalisasi pengolahan sampah.
Mencari solusi persoalan itu, Putra mulai tergerak mencari informasi dan data tentang persampahan. Bersama rekannya Addin Gama, dia mulai melakukan riset tentang sampah dan mulai berkenalan dengan sistem bank sampah. “Awalnya tahu, bank sampah itu menurut saya ini konsepnya unik,” katanya.
Namun, Putra melihat masih banyak kekurangan dari sistem bank sampah itu. Di antaranya, bank sampah masih belum terintegrasi antara satu dengan lainnya, ditambah sumber daya manusia yang masih terbatas. Berbekal pengetahuannya di bidang sistem informasi, Putra bersama rekannya memutuskan untuk mengembangkan aplikasi berbasis digital bernama Smash, kependekan dari Sistem Online Manajemen Sampah. “Itu dirancang tahun 2015,” katanya.
Melalui aplikasi ini, interaksi bank sampah dan nasabahnya dimudahkan dalam melakukan pengolahan sampah. Putra yang sarjana Sistem Informasi (SI) Universitas Telkom itu menggunakan pendekatan teknik informatika (IT) untuk mendesain sistem pengelolaan sampah.
“Kami tidak punya potensi di teknik lingkungan, makanya kami melakukan pendekatan IT dengan membuat aplikasi Smash.id,” katanya.
Melalui Smash, Putra mengaku tidak langsung turun memilah ataupun mengepul sampah ke lapangan. Ia justru mengembangkan platform digital yang mampu mengintegrasikan data terkait bank sampah. “Kami bikin namanya BankSampah.id yang merupakan bagian dari Smash,” katanya.
Di tangan Putra, aktivitas pengelolaan sampah semisal pengelompokan kategori sampah, mengelola nasabah hingga aktivitas transaksi sampah bisa didigitalisasi. Hal itu tentu lebih memudahkan nasabah dalam mengelola bank sampah, khususnya dalam pendataan sampah.
Platform BankSampah.id ini tersedia dalam bentuk aplikasi android juga web. Kini, Putra mengaku sudah menghimpun sebanyak 379.503 nasabah yang terdaftar dan tercatat di BankSampah.id. Sementara untuk bank sampahnya sendiri, sudah tercatat sebanyak 11.569 unit yang tersebar di seluruh Indonesia.
Smash juga mengembangkan aplikasi bernama mySmash yang difungsikan sebagai media informasi bagi nasabah seputar bank sampah, semisal info lokasi bank sampah terdekat, hingga fitur jemput sampah. Dalam aplikasi mySmash pun tersedia fitur edukasi persampahan dan Smash-Pay yang bisa difungsikan untuk transaksi pembayaran daring menggunakan saldo hasil tabung sampah.
“Kita terinspirasi dengan aplikasi Gojek, kenapa kita gak bikin kaya Gojek, tapi terkait sampah, maka dibikinlah mySmash yang terealisasi pada 2016, harapannya bisa besar kayak Gojek,” ujar Putra, yang juga dosen Prodi Sistem Informasi di Universitas Telkom itu.
Tak berhenti sampai disini, Putra terus berinovasi dan berkolaborasi mengembangkan aplikasi terkait persampahan. Hasilnya, lahirlah dua produk Smash, yakni e-Smash dan Smart Dropbox alias tong sampah pintar.
Untuk Smart Dropbox adalah produk Smash berupa perangkat keras. Hasil rekayasa Putra dan teman-temannya ini merupakan bentuk tong sampah dengan desain menarik, dan dilengkapi sensor pintar yang bisa mendeteksi jenis sampah non organik berikut harga sampah plastik yang dibuang pengguna ke tong sampah pintar itu.
Nasabah hanya perlu memindai kode batang yang tersedia di bagian depan tong sampah dengan ponsel pintar lantas muncul beberapa petunjuk hingga transaksi buang sampah selesai. Bayaran hasil transaksi pun akan langsung masuk ke saldo Smash-Pay di akun mySmash nasabah. “Jadi memang ini sudah terintegrasi dengan aplikasi mySmash,” katanya.
“Kami bekerjasama dengan beberapa perusahaan industri seperti Danone, Unilever dan lainnya dalam mengembangkan produk smart dropbox ini,” tuturnya.
Sementara itu, untuk aplikasi e-Smash merupakan platform yang diperuntukan bagi pemerintah guna memaksimalkan pengolahan sampah di daerah masing-masing. Melalui e-Smash ini, pemerintah setempat bisa memantau langsung kegiatan pengolahan sampah berikut data persampahan di tiap bank sampah yang sudah terdata di aplikasi e-Smash.
Meski begitu, Putra mengaku masih ada kendala dalam usaha rintisan yang ia kembangkan. Pengelolaan sampah adalah masalah pengelolaan dari hulu hingga hilir. Minimnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah, menjadi masalah besar yang butuh penanganan khusus.
Makanya, selain terus mengembangkan produk Smash, Putra perlu melakukan edukasi persampahan terus menerus, khususnya terhadap pengelola bank sampah, dan kepada masyarakat umum. Ia mengaku kerap menemui pengelola bank sampah yang masih belum paham menggunakan aplikasi Smash yang sebetulnya didesain sederhana.
“Kendala terbesar sejauh ini, ya literasi digital bank sampah, tapi secara umum itu kendala besar di mindset atau mental dalam urusan sampah, kesadaran masyarakat di kita masih rendah,” tandasnya.
Namun langkah Putra dalam mengembangkan Smash, sedikit banyak berdampak terhadap lingkungan dan perubahan iklim. “Kalau kami lihat, Smash berpeluang menjadi satu jembatan, efeknya tidak langsung tapi dengan data kami, hasilnya bisa lebih akurat, misalkan dalam menyerap emisi karbon dan yang lainnya,” ucapnya.
Dari upaya mereka, Smash menyabet penghargaan di dalam dan luar negeri. Terbaru terpilih sebagai Top 10 startup Future City Hackathon 2020 yang diselenggarakan Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah kota Berlin. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM