“Membangun startup bukan melulu urusan bisnis. Startup harus bisa memberikan dampak sosial untuk kehidupan manusia yang lebih baik.”
Sebuah keberuntungan Ratih Rachmatika, 23 tahun berkesempatan mengenyam pendidikan di Fakultas Elektro Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Kampus hijau itu terletak hanya beberapa ratus meter dari Bengawan Solo, sungai legendaris di Pulau Jawa.
Meski telah ada bendungan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, sungai itu masih kerap meluap saat musim penghujan. Airnya keruh seperti susu cokelat akibat erosi di hulu sungai. Kondisi itu tidak lepas dari pengamatan Ratih, yang saat itu tengah mengerjakan tugas kuliah yang datang tiap semester. Dari sanalah Ratih tercetus ide untuk membuat proyek kreatif.
“Bengawan Solo menjadi andalan bagi beberapa daerah sebagai bahan baku air bersih,” kata pendiri starup Siaga Air Bersih (SIAB) Indonesia. Padahal, tidak setiap saat air sungai itu layak untuk diproses menjadi air bersih. Saat-saat tertentu kondisi air sungai memiliki kualitas yang buruk, salah satunya saat banjir air menjadi keruh.
Pengamatan tersebut membuat Ratih memperoleh ide untuk membuat peralatan untuk mengukur kualitas air secara realtime. Dia mulai merancang peralatan baik hardware maupun software dengan memanfaatkan teknologi Internet of Things (IoI).
“Selama ini pengukuran kualitas bahan baku air bersih harus dilakukan di laboratorium,” katanya. Hal itu tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama. Padahal, perubahan kualitas air bisa terjadi sewaktu-waktu. SIAB menjadi salah satu solusi lantaran bisa menginformasikan kualitas air secara realtime dan online.
Karya itu awalnya hanya merupakan tugas kuliah. Di semester lain, dia sempat membuat aplikasi lainnya yang bernama Perishable Food Maturity and Freshness Detector (PERFECT), sebuah aplikasi Android untuk mengukur tingkat kematangan buah.
Aplikasi itu sengaja dirancang untuk membantu petani mengidentifikasi tingkat kematangan buah. Tujuannya untuk menentukan saat yang tepat waktu memanennya. Selama ini banyak masyarakat yang mengandalkan perkiraan untuk menentukan masa panen.
Meski belum sempurna, aplikasi itu menjadi juara tiga dalam kompetisi karya tulis ilmiah (LKTI) nasional yang diselenggarakan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank. Penghargaan diserahkan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, pada September 2018.
Menjelang lulus pada 2019, Ratih kembali mengembangkan aplikasi SIAB yang sudah dirancangnya. Dia yakin karyanya bisa berguna bagi kehidupan manusia. “Persoalan air bersih merupakan masalah global yang akan selalu dihadapi manusia,” kata gadis asal Jaten, Karanganyar ini.
Hanya saja, Ratih selama ini memang lebih fokus ke urusan perancangan sistem. Terang-terangan dia mengaku awam di dunia usaha dan startup. Saat itu ia belum mengetahui tempat untuk belajar membangun startup, tetapi ia terus mencari informasi.
Kegigihannya dalam mencari informasi membuahkan hasil. Dia memperoleh akses untuk mengikuti program inkubasi startup di Universitas Gadjah Mada. Tentunya, dia harus melewati seleksi untuk bisa mengikuti program pelatihan itu.
“Hampir semua pendaftar merupakan lulusan UGM, hanya sedikit yang dari luar,” katanya. Dengan modal semangat juang ia akhirnya lolos seleksi dan menjadi salah satu dari segelintir lulusan di luar UGM yang bisa mengikuti program itu.
Program inkubasi UGM itu tidak menjadi pemberhentiannya untuk belajar membangun startup. Dia lantas mengikuti program serupa yang digelar salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Proyek SIAB yang dirancangnya akhirnya mendapat suntikan modal.
“Saat ini saham tidak sepenuh jadi kepemilikan saya, hannya sekitar 95 persen,” katanya. Sisanya sekitar 5 persen saham, menjadi milik perusahaan BUMN. Namun hal itu justru menjadikannya lebih percaya diri untuk membangun startup-nya.
Kini, persoalan utamanya adalah masalah akses. Ratih mengaku hanya memiliki akses terbatas kepada para pemangku kebijakan di pemerintahan daerah. Padahal pangsa utamanya adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Selain itu, masih sedikit pemerintah daerah yang memiliki perhatian terhadap mutu bahan baku air bersih. “Tidak banyak daerah yang membuat regulasi tentang itu,” katanya.
Namun, Ratih tidak patah semangat. Dia memilih untuk bekerja sama dengan penyedia air bersih skala kecil melalui proyek Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang ada di perdesaan. “Saat ini sudah ada 4 desa yang menggunakan alat ini,” katanya.
Salah satunya di Desa Bangsri, Karanganyar. Kawasan tersebut memiliki sumber air cukup besar namun kualitasnya tidak terlalu baik lantaran kadar besi dan mangan yang terlalu besar.
Di desa itu SIAB Indonesia bukan hanya memasang alat pemantau kualitas air, namun juga instalasi untuk penyaringan air yang telah dikembangkan. Air yang diolah memiliki kualitas sesuai baku mutu dan dimonitor secara realtime 24 jam nonstop. Pembeayaan proyek itu didapatkan melalui platform fundraising kitabisa.com.
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM