“Karena apa yang kita lakukan di darat, pasti akan memberikan dampak pada laut,”
Kezia Ruth Marganti Sitompul, 23 tahun tak menyangka akan banyak terlibat dalam kegiatan merehabilitasi terumbu karang. Karena ia sendiri awalnya lebih tertarik pada biota laut. Intensitasnya pada kegiatan soal terumbu karang berawal saat ia menjadi mahasiswa Universitas Udayana Bali.
Semula, dara kelahiran Jakarta, 10 Oktober 1997, hanya iseng ikut kegiatan luar kampus. Kuliah di jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam terhubung dengan banyak link kegiatan konservasi.
“Pada 2017 ikut sebagai sukarelawan di Pantai Kuta untuk penangkaran tukik,” tutur putri pasangan Mario Bernard P Sitompul dan Lynda Mathilda Tarida M Situmorang ini.
Setahun berkutat dengan pelestarian penyu, pada Maret 2018, Kezia lolos seleksi pelatihan ke Australia yang diselenggarakan oleh CoralWatch, The University Of Queensland, and Queensland Government. Selama 10 hari di negeri Kangguru ia belajar soal terumbu karang. Pada waktu itu Kezia menjadi satu-satunya peserta asal Indonesia.
“Yang paling menarik belajar alat pendeteksi kesehatan karang dari warnanya,”
Pada kegiatan CoralWatch Ambassador Workshop 2nd at Heron Island, Australia itu pesertanya juga diberikan pemahaman soal perubahan iklim dan bahaya sampah plastic bagi kehidupan karang.
Pulang dari Australia, Kezia sering mendapatkan kesempatan menjadi pembicara soal lingkungan terutama pelestarian terumbu karang. Terutama pada diskusi-diskusi di sekitar kampusnya, antara lain diskusi tentang pengelolaan ecowisata yang diikuti banyak siswa asing. Juga menjadi pembicara soal terumbu karang di beberapa universitas lain di Bali.
Dari sanalah, mantan siswa SMA Santo Yusuf, Cimahi, Jawa Barat ini mulai menapaki jalan sebagai aktivis lingkungan, khususnya pada pelestarian terumbu karang. Ia kini piawai mengedukasi masyarakat tentang pelestarian terumbu karang, penanaman dan perawatan.
Masih pada tahun yang sama, ia bergabung pada lembaga nirlaba Nusa Dua Reef Foundation sebagai sukarelawan. Di yayasan ini Kezia menambah pengalamannya soal terumbu karang. Hampir setiap minggu ia melakukan perawatan terumbu karang di kawasan pantai Nusa Dua. “Kadang melakukan penanaman atau melihat perkembangan terumbu karang,”
Nusa Dua Reef Foundation memiliki taman karang yang luasnya mencapai dua hektar yang dirawat sejak beberapa tahun terakhir. Pernah ada peneliti asing, lanjut Kezia yang mengambil sampel karang di area tersebut. Hasilnya, masih ditemukan kandungan racun.
“Jadi masih ada yang mencari ikan dengan racun, ini sangat berbahaya untuk karang,”
Ia bersama anggota yayasan kadang menemukan nelayan atau pemancing berkegiatan di area taman karang yang merupakan kawasan konservasi.
“Pengurus banjar setempat sudah paham jika ini merupakan kawasan perlindungan terumbu karang,” katanya. Tetapi masyarakan lain, masih harus dilakukan edukasi.
Pada saat pemeliharaan taman karang, sering ia dapati masyarakat yang memancing di sekitar area konservasi. Pada masa pandemic Covid-19 jumlahnya ternyata meningkat. “Saat ditegur, malah kadang timbul ketegangan. Mungkin dianggap saya masih kecil, tapi saat diberitahu mereka mau bergeser,” ujarnya.
Pada 2019, ia juga berkesempatan mengikuti acara Biodiversity Worriors Kehati yang diselenggarakan di kawasan Pantai Ancol, Jakarta. Kegiatan ini berisi pemahaman keanekaragaman hayati. Antara lain mengenal bagaimana masyarakat di sana melakukan filter air laut dengan kerang hijau.
“Dari mengikuti kegiatan ini banyak tawaran untuk mengisi acara daring,” ujarnya.
Sejak kembali dari Australia ia memang lebih fokus dalam kegiatan yang langsung berkaitan dengan terumbu karang. Termasuk tugas akhir skripsinya di Universitas Udayana juga tentang karang laut. “Lokasi penelitian juga dilakukan di yayasan Nusa Dua Reef Foundation,”
Dua hal yang sangat berkesan bagi Kezia selama aktif dalam konservasi terumbu karang adalah saat ikut melakukan dokumentasi biota laut di Nusa Lembongan bersama Nusa Dua Reef Foundation dan membukukannya.
“Satunya lagi saat sebagai pembicara di seminar daring Biodiversity for suistainable future,”
Acara pada Agustus 2020, salah satu pembicaranya adalah artis Ramon Y Tungka. Jumlah peserta mencapai 400 orang. “Setelah acara banyak yang menghubungi dan ngobrol atau sekedar berbagi tentang kegiatan konservasi,”
Kezia berharap, apa yang ia lakukan bisa menjadi inspirasi bagi orang di sekitarnya. Sehingga upaya pelestarian keanekaragaman hayati bisa terus dilakukan.
“Karena apa yang kita lakukan di darat, pasti akan memberikan dampak pada laut”. (*)
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM